Senin, 04 Juni 2012

JAGUNG TRANSGENIK DALAM REKAYASA GENETIKA



PENDAHULUAN
Jagung dibudidayakan secara komersial di lebih dari 100 negara dengan produksi sekitar 705 juta metrik ton. Pada tahun 2004 produsen jagung terbesar di dunia berturut-turut adalah Amerika Serikat, Cina, Brasil, Meksiko, Perancis, dan India (Agbios GM Data Base 2007). Pada umumnya jagung dibudidayakan untuk digunakan sebagai pangan, pakan, bahan baku industri farmasi, makanan ringan, susu jagung, minyak jagung, dan sebagainya. Di negara maju, jagung banyak digunakan untuk pati sebagai bahan pemanis, sirop, dan produk fermentasi, termasuk alkohol. Di Amerika, jagung banyak digunakan untuk bahan baku pakan (Agbios GM Data Base 2007).
Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri pakan dan industri lainnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan jagung di dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk memenuhi kebutuhan jagung harus dilakukan impor, terutama dari Amerika. Diperkirakan kebutuhan jagung dalam negeri sampai tahun 2010 akan terus meningkat sehubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan. Oleh karena itu, produksi jagung dalam negeri perlu ditingkatkan sehingga volume impor dapat dikurangi dan bahkan ditiadakan. Ketergantungan akan jagung impor berdampak buruk terhadap keberlanjutan penyediaan jagung di dalam negeri mengingat komoditas ini di negara produsen utama telah digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk bahan baku bioenergi. Di Amerika Serikat, misalnya, telah dicanangkan penggunaan jagung sebagai sumber bioenergi. Pada saatnya nanti akan terjadi persaingan penggunaan jagung untuk pangan, pakan, bahan baku industri, dan bioenergi. Apabila kebutuhan jagung nasional masih bergantung pada impor dikhawatirkan akan mematikan industri pangan dan pakan berbasis jagung karena berkurangnya pasokan bahan baku. Hal ini mengancam ketahanan pangan dan keberlanjutan usaha peternakan. Upaya peningkatan produksi jagung dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain melalui perbaikan genetik tanaman. Perbaikan genetic jagung bertujuan untuk mengatasi kendala pertumbuhan tanaman, terutama cekaman lingkungan biotik dan abiotik.
Perbaikan genetik jagung dapat dilakukan secara konvensional maupun melalui rekayasa genetik (genetic engeenering). Dengan berkembangnya bioteknologi, perbaikan genetik jagung melalui rekayasa genetik akan menjadi andalan dalam pemecahan masalah perjagungan di masa mendatang. Seperti diketahui, pemuliaan secara konvensional mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan sifat unggul dari tanaman. Dalam rekayasa genetic jagung, sifat unggul tidak hanya didapatkan dari tanaman jagung itu sendiri, tetapi juga dari spesies lain sehingga dapat dihasilkan tanaman transgenik. Jagung Bt merupakan tanaman transgenik yang mempunyai ketahanan terhadap hama, di mana sifat ketahanan tersebut diperoleh dari bakteri Bacillus thuringiensis (Herman 1997).
JAGUNG BT
Salah satu hambatan yang paling besar dalam upaya peningkatan produksi jagung adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), seperti hama dan penyakit tanaman. Serangan OPT pada tanaman jagung selain menurukan produksi juga mengurangi pendapatan petani dan adanya residu pestisida dalam jumlah besar yang menyebabkan polusi lingkungan. European corn borer (ECB), Ostrinia nubilalis, merupakan hama jagung di Amerika dan Kanada yang dapat merugikan 1 milyar dolar Amerika pertahun. Hama ECB dapat dieliminasi oleh pestisida kimia, tetapi hanya dapat diaplikasi pada areal yang terbatas (kurang dari 20%), karena aplikasi pestisida sulit dilakukan dan diperlukan aplikasi lain dalam mengontrol ECB.
Tersedianya bioaktif dari kristal protein yang dikode oleh gen Bt, memungkinkan modifikasi genetik tanaman jagung yang disisipi dengan gen Bt untuk menghasilkan jagung transgenik Bt (Bt corn). Bt protein yang dihasilkan oleh gen Bt dapat meracuni hama yang menyerang tanaman jagung. Setelah dimakan oleh corn borer, Bt protein dipecah oleh suatu enzim pemecah dalam pencernaan yang bersifat alkalin dari larva serangga dan menghasilkan protein pendek yang mengikat dinding pencernaan. Pengikatan dapat menyebabkan kerusakan membran sel sehingga larva berhenti beraktivitas (Syngenta Seeds Communication 2003). Gen Bt disolasi dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis yang telah digunakan petani di negara maju sebagai pestisida hayati sejak puluhan tahun yang lalu (Herman 2002). B. thuringiensis menghasilkan protein Kristal Bt, atau Crystal protein (Cry) yang merupakan protein endotoksin yang bersifat racun bagi serangga (insektisidal) (Held et al. 1982, Macintosh et al. 1990). Namun protein endotoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis tidak melakukan pengikatan pada permukaan pencernaan sel mamalia, karena itu hewan ternak dan manusia tidak tahan terhadap protein tersebut (Agbios GM Data Base 2007). Terdapat delapan kelompok gen Bt berdasarkan sifat virulensinya (Herman 2002), tetapi yang sudah banyak ditransformasikan ke dalam tanaman jagung adalah yang menghasilkan jenis Bt endotoksin dari gen Cry1Ab. Protein Cry dari gen ini hanya menghasilkan satu jenis yang mengikat pada lokasi spesifik dari serangga target (Agbios GM Data Base 2007).
Produksi jagung Bt pada saat ini didominasi oleh Amerika, di mana areal pertanamannya pada tahun 2000 telah mencapai 92% dari total areal pertanaman jagung. Keuntungan diperoleh dari pertanaman jagung Bt di Amerika mencapai 141 juta dolar (59%) dari total keuntungan sebesar 240 juta dolar Amerika (Herman 2002). Pertanaman jagung Bt mempunyai dampak positif terhadap lingkungan karena dapat menekan penggunaan pestisida. Pengurangan pestisida berarti menurunkan biaya produksi. Di negara bagian Iowa, Amerika Serikat, yang mempunyai 80% areal jagung Bt terjadi pengurangan penggunaan pestisida hingga 600 ton (Teng 2001). Dampak positif lain dari pertanaman jagung Bt adalah ketahanan tanaman terhadap jamur toksin dari Fusarium penyebab busuk tongkol, dibandingkan dengan jagung non-Bt yang mengalami keruskan berat.
Berdasarkan hasil analisis mikotoksin, jagung Bt mempunyai kandungan fumonisin 1,5 ppm, sedangkan jagung non-Bt mempunyai kadar yang lebih tinggi, mencapai 14,5 ppm (Fuller 1999). Penelitian  menunjukkan bahwa penanaman jagung Bt tidak berpengaruh terhadap serangga berguna seperti laba-laba, coccinellid, chtysopid, nabid, dan aman terhadap burung puyuh Northern Bobwhite (McLean and MacKenzie 2001).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar