PENDAHULUAN
Jagung dibudidayakan secara komersial di lebih dari
100 negara dengan produksi sekitar 705 juta metrik ton. Pada tahun 2004
produsen jagung terbesar di dunia berturut-turut adalah Amerika Serikat, Cina,
Brasil, Meksiko, Perancis, dan India (Agbios GM Data Base 2007). Pada umumnya
jagung dibudidayakan untuk digunakan sebagai pangan, pakan, bahan baku industri
farmasi, makanan ringan, susu jagung, minyak jagung, dan sebagainya. Di negara
maju, jagung banyak digunakan untuk pati sebagai bahan pemanis, sirop, dan
produk fermentasi, termasuk alkohol. Di Amerika, jagung banyak digunakan untuk
bahan baku pakan (Agbios GM Data Base 2007).
Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua
setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri
pakan dan industri lainnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan jagung di dalam
negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk memenuhi kebutuhan jagung harus
dilakukan impor, terutama dari Amerika. Diperkirakan kebutuhan jagung dalam
negeri sampai tahun 2010 akan terus meningkat sehubungan dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan. Oleh karena itu,
produksi jagung dalam negeri perlu ditingkatkan sehingga volume impor dapat dikurangi
dan bahkan ditiadakan. Ketergantungan akan jagung impor berdampak buruk
terhadap keberlanjutan penyediaan jagung di dalam negeri mengingat komoditas
ini di negara produsen utama telah digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk
untuk bahan baku bioenergi. Di Amerika Serikat, misalnya, telah dicanangkan
penggunaan jagung sebagai sumber bioenergi. Pada saatnya nanti akan terjadi
persaingan penggunaan jagung untuk pangan, pakan, bahan baku industri, dan
bioenergi. Apabila kebutuhan jagung nasional masih bergantung pada impor dikhawatirkan
akan mematikan industri pangan dan pakan berbasis jagung karena berkurangnya
pasokan bahan baku. Hal ini mengancam ketahanan pangan dan keberlanjutan usaha
peternakan. Upaya peningkatan produksi jagung dapat dilakukan melalui berbagai cara,
antara lain melalui perbaikan genetik tanaman. Perbaikan genetic jagung
bertujuan untuk mengatasi kendala pertumbuhan tanaman, terutama cekaman
lingkungan biotik dan abiotik.
Perbaikan genetik jagung dapat dilakukan secara
konvensional maupun melalui rekayasa genetik (genetic engeenering). Dengan
berkembangnya bioteknologi, perbaikan genetik jagung melalui rekayasa genetik
akan menjadi andalan dalam pemecahan masalah perjagungan di masa mendatang. Seperti
diketahui, pemuliaan secara konvensional mempunyai keterbatasan dalam
mendapatkan sifat unggul dari tanaman. Dalam rekayasa genetic jagung, sifat
unggul tidak hanya didapatkan dari tanaman jagung itu sendiri, tetapi juga dari
spesies lain sehingga dapat dihasilkan tanaman transgenik. Jagung Bt merupakan
tanaman transgenik yang mempunyai ketahanan terhadap hama, di mana sifat
ketahanan tersebut diperoleh dari bakteri Bacillus thuringiensis (Herman 1997).
JAGUNG
BT
Salah satu hambatan yang paling besar dalam upaya
peningkatan produksi jagung adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT),
seperti hama dan penyakit tanaman. Serangan OPT pada tanaman jagung selain menurukan
produksi juga mengurangi pendapatan petani dan adanya residu pestisida dalam
jumlah besar yang menyebabkan polusi lingkungan. European corn borer (ECB),
Ostrinia nubilalis, merupakan hama jagung di Amerika dan Kanada yang dapat
merugikan 1 milyar dolar Amerika pertahun. Hama ECB dapat dieliminasi oleh
pestisida kimia, tetapi hanya dapat diaplikasi pada areal yang terbatas (kurang
dari 20%), karena aplikasi pestisida sulit dilakukan dan diperlukan aplikasi
lain dalam mengontrol ECB.
Tersedianya bioaktif dari kristal protein yang dikode
oleh gen Bt, memungkinkan modifikasi genetik tanaman jagung yang disisipi
dengan gen Bt untuk menghasilkan jagung transgenik Bt (Bt corn). Bt protein
yang dihasilkan oleh gen Bt dapat meracuni hama yang menyerang tanaman jagung.
Setelah dimakan oleh corn borer, Bt protein dipecah oleh suatu enzim pemecah
dalam pencernaan yang bersifat alkalin dari larva serangga dan menghasilkan
protein pendek yang mengikat dinding pencernaan. Pengikatan dapat menyebabkan
kerusakan membran sel sehingga larva berhenti beraktivitas (Syngenta Seeds
Communication 2003). Gen Bt disolasi dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis
yang telah digunakan petani di negara maju sebagai pestisida hayati sejak
puluhan tahun yang lalu (Herman 2002). B. thuringiensis menghasilkan protein Kristal
Bt, atau Crystal protein (Cry) yang merupakan protein endotoksin yang bersifat
racun bagi serangga (insektisidal) (Held et al. 1982, Macintosh et al. 1990).
Namun protein endotoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis tidak melakukan
pengikatan pada permukaan pencernaan sel mamalia, karena itu hewan ternak dan
manusia tidak tahan terhadap protein tersebut (Agbios GM Data Base 2007). Terdapat
delapan kelompok gen Bt berdasarkan sifat virulensinya (Herman 2002), tetapi
yang sudah banyak ditransformasikan ke dalam tanaman jagung adalah yang
menghasilkan jenis Bt endotoksin dari gen Cry1Ab. Protein Cry dari gen ini
hanya menghasilkan satu jenis yang mengikat pada lokasi spesifik dari serangga
target (Agbios GM Data Base 2007).
Produksi jagung Bt pada saat ini didominasi oleh
Amerika, di mana areal pertanamannya pada tahun 2000 telah mencapai 92% dari
total areal pertanaman jagung. Keuntungan diperoleh dari pertanaman jagung Bt
di Amerika mencapai 141 juta dolar (59%) dari total keuntungan sebesar 240 juta
dolar Amerika (Herman 2002). Pertanaman jagung Bt mempunyai dampak positif
terhadap lingkungan karena dapat menekan penggunaan pestisida. Pengurangan
pestisida berarti menurunkan biaya produksi. Di negara bagian Iowa, Amerika
Serikat, yang mempunyai 80% areal jagung Bt terjadi pengurangan penggunaan
pestisida hingga 600 ton (Teng 2001). Dampak positif lain dari pertanaman
jagung Bt adalah ketahanan tanaman terhadap jamur toksin dari Fusarium penyebab
busuk tongkol, dibandingkan dengan jagung non-Bt yang mengalami keruskan berat.
Berdasarkan hasil analisis mikotoksin, jagung Bt
mempunyai kandungan fumonisin 1,5 ppm, sedangkan jagung non-Bt mempunyai kadar
yang lebih tinggi, mencapai 14,5 ppm (Fuller 1999). Penelitian
menunjukkan bahwa penanaman jagung Bt tidak
berpengaruh terhadap
serangga berguna seperti laba-laba, coccinellid, chtysopid, nabid, dan aman terhadap
burung puyuh Northern Bobwhite (McLean and MacKenzie 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar