Selasa, 12 Juni 2012

growth response to temperature


BAB I
PENDAHULUAN

Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada umumnya, tumbuhan membutuhkan suhu tertentu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, yang disebut dengan suhu optimum. Suhu paling rendah yang masih memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh disebut suhu minimum, sedang suhu paling tinggi yang masih memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh disebut suhu maksimum.

 Pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi suhu- kelemahan yang sudah lama diketahui. Sering perubahan beberapa derajat saja sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju pertumbuhan. Pada tahap tertentu dalam daur hidupnya dan pada kondisi kajian tertentu, tiap spesies atau varietas mempunyai suhu minimun (rentang) suhu optimum, dan suhu rnaksimum. Di bawah suhu minimum mi tumbuhan tak akan tumbuh; pada rentang suhu optimun, laju tumbuhnya paling tinggi; dan di atas suhu maksimum, tumbuhan tidak tumbuh dan bahkan mati. Suhu berperan langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju proses-proses kimia dalam tubuh tumbuhan tersebut, sedang peran tidak langsung yaitu mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air.










BAB II
PEMBAHASAN


RESPONS PERTUMBUHAN TERHADAP SUHU

Pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi suhu- kelemahan yang sudah lama diketahui. Sering perubahan beberapa derajat saja sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju pertumbuhan. Pada tahap tertentu dalam daur hidupnya dan pada kondisi kajian tertentu, tiap spesies atau varietas mempunyai suhu minimun (rentang) suhu optimum, dan suhu maksimum. Di bawah suhu minimum ini tumbuhan tak akan tumbuh; pada rentang suhu optimun, laju tumbuhnya paling tinggi; dan di atas suhu maksimum, tumbuhan tidak tumbuh dan bahkan mati. Gambar 22.1 memperlihatkan kurva laju tumbuh sebagai fungsi suhu. Pertumbuhan berbagai spesies Iazimnya menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan alaminya. Spesies alpin dan spesies kutub utara mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum  yang rendah; spesies tropika mempunyai suhu utama yang jauh lebih tinggi. Tumbuhan yang tumbuh mendekati suhu minimum atau maksimumnya akan sering mengalami cekaman yang dibahas pada bab 26.
Sering jaringan yang berbeda dalam tumbuhan yang sama mempunyai suhu utama yang berlainan. Contoh klasik yang mudah ditunjukkan adalah perbedaan suhu pertumbuhan optimum untuk permukaan atas dan bawah tepal tulip atau bunga crocus (tepal adalah akronim untuk petal [daun bunga] dan sepal [daun kelopak] yang tampak serupa, khususnya pada anggota famili Liliaceae). Kajian di Jerman, sejak penelitian Julius von Sachs tahun 1863, telah menunjukkan bahwa suhu rendah (3 sampai 7°C) paling baik untuk pertumbuhan permukaan bawah jaringan Suhu tersebut menyebabkan tulip atau bunga crocus menutup, sedangkan suhu lebih tinggi (10 sampai 17°C) paling baik bagi pertumbuhan permukaan atas jaringan tepal, menyebabkan bunga membuka (gambar 22.2). Perubahan suhu mendadak sekecil 0,2 sampai 1°C pun sering menyebabkan pcrtumbuhan yang cepat serta terjadinya pembukaan dan penutupan bunga crocus dan tulip, walaupun suhu pertumbuhan optimum untuk kedua sisi tepal itu berbeda sekitar 10°C. Gerak tepal yang diakibatkan suhu ini (gerak nastik, bab-19), yang disebabkan oleh pertumbuhan, disebut termonati.

Namun, suhu tidak hanya mepengaruhi pertumbuhan jaringan. Sering selang suhu tertentu mengawali tahap kritis  pada daur hidup tumbuhan: perkecambahan biji, awal pembungaan, dan induksi atau berakhirnya dormansi pada tumbuhan tahunan. Respons perkembangan itu sering dipengaruhi oleh faktor lingkungan selain suhu, antara lain tingkat cahaya, lama cahaya, dan kelembapan. Interaksi ini beragam dan rumiit, sehingga topik dalam bab ini kadang agak menyimpang dan tema utama, yaitu respons tumbuhan terhadap suhu, khususnya suhu rendah.

22.1 DILEMA SUHU-ENZIM
Pada waktu memperkirakan respons pertumbuhan terhadap suhu, sering kita mendalilkan berlangsungnya reaksi enzim yang dipengaruhi oleh dua faktor berlawanan: Kenaikan suhu meningkatkan energi kinetik molekul yang bereaksi, dan ini meningkatkan laju reaksi; tapi, kenaikan suhu juga meningkatkan laju denaturasi enzim. Selisih antara kurva reaksi dan kurva perombakan menghasilkan kurva tak-setangkup (gambar 22.3) yang mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum (suh utama) sendiri. Kurva tersebut berlaku untuk respirasi, fotosintesis, dan berbagai respons tumbuhan lainnya, di samping pertumbuhan.


Ketika membahas nilai Q10 pada pasal 2.3, telah kita lihat bahwa kenaikan suhu yang sama kecilnya menyebabkan laju berbagai reaksi kimia meningkat beberapa kali laju pada suhu yang lebih rendah. Jadi, jika Q10 = Z maka laju reaksi kurang lebih berlipat dua untuk tiap kenaikan suhu 10°C. Dan data beberapa reaksi yang mengikuti kaidah ini, Svante Arrhenius (ahli kimia berbangsa Swedia, 1859—1927, pemenang Hadiah Nobel tahun 1903 bidang kimia) mendapatkan hubungan berikut ini pada tahun 1889, yang dinamakan persamaan Arrhenius:
dengan k1 dan k2 adalah laju reaksi pada suhu T1 dan T2, serta A adalah konstanta. Dan persamaan itu, Arrhenius mendapatkan suatu persamaan yang agak Iebih rumit, dengan bentuk sebagai berikut (baca buku ajar kimia fisika untuk persamaan yang lebih rinci
dengan log k adalah logaritme laju reaksi, T adalah suhu mutlak kelvin, dan a dan b merupakan konstanta. Persamaan itu merupakan garis lurus bila log k dirajah sebagai fungsi kebalikan suhu kelvin (1/7) pada bagan Arrhenius. Persamaan mi telah diterapkan pada banyak sekali proses fisiologi atau reaksi enzimatik, seperti pada contoh gambar 22.4. Kemiringan garis ditunjukkan oleh konstanta b, dan memang mungkin mendapatkan energi kerja (Ea) dan kemiringan itu.
Gambar 22.3 Aktivitas enzim dan suhu. I. Laju reaksi dengan Q10 = 2, khas untuk berbagai reaksi kimia, termasuk yang (pada suhu rendah) dikendalikan oleh enzim. II. Reaksi dengan Q10 = 6, khas untuk denaturasi protein. IlI Kurva perkiraan yang  merupakan selisih antara kurva untuk  laju reaksi yang dikendalikan oleh enzim (I) den kurva denaturasi enzim (II). Kurva ini khas untuk respons reaksi yng dikendalikan oleh enzim terhadap rentang suhu yang’1mum untuk reaksi itu. Energi kerja adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses yang sedang diukur.

Gambar 22.4 Bagan Arrhenius sebagal cara untuk menganalisis efek suhu terhadap berbagai proses, termasuk reaksi metabolik, reaksi Iainnya, perkecambahan, atau respons tumbuhan atau hewan. (a) Bagan Arrhenius sederhana mengenai respirasi akar Ranunculus (R), Carex (C), Dupontia (D), dan Eriophorum (E). Angka pada kurva menunjukkan energi kerja yang nyata dalam kJmor-1. Pada bagan itu, kordirnat merupakan logaritma respons (dalam hal ini adalah respirasi), dan absis merupakan kebalikan dan suhu mutlak. (Suhu dalam derajat Celsius juga dipertihatkan: perhatikan bahwa pada bagan kebalikan ini, suhu rendah terlihat di sebelah kanan, bukan sebelah kin). (Dan Eamshaw, 1981, dengan izin). (b) Pengaruh suhu perkecambahan terhadap massa basah sumbu kecambah dan dua kultivar kedelai. (Garis tegak menunjukkan simpangan baku). (c) Bagan Arrhenius dan data pada b. Perubahan D, dalam massa basah per hari (laju tumbuh) dipenlihatkan pada c. (Dan Henspn dkk, 1980, dengan izin)

Untuk proses yang berlangsung dalam oganisme, bagan Arrhenius umumnya merupakan garis lurus dalam rentang suhu yang memungkinkan suatu organisme untuk hidup selama jangka waktu agak lama. Setiap belokan, patahan, atau perubahan dalam bagan Arrhenius menunjukkan perubahan kepekaan proses yang sedang diukur terhadap suhu. Penurunan yang tajam memperlihatkan denaturasi protein yang terjadi di batas atas suhu pada bagan, dan sebuah ketidaksambungan (patahan) atau infleksi (perubahan kemiringan) dapat terjadi di batas suhu bawah pada bagan. Infleksi atau patahan seperti itu dalam bagan Arrhenius menunjukkan bahwa proses yang sedang dikaji peka terhadap suhu rendah. Peningkatan kemiringan bagan di bawah suhu infleksi menunjukkan bahwa energi keria (Ea) telah meningkat dan menjadi lebih terbatas pada kecepatan maksimum (Vmaks, laju maksimum proses pada kondisi tertentu) dibandingkan dengan pada suhu di atas suhu infleksi. Keadaanini umum ditemui dalam proses fisiologi dan reaksi enzimatik tumbuhan yang peka terhadap suhu rendah (baca pasal 26.5). Bagan Arrhenius dan kultivar  yang berbeda dalam spesies yang sama dapat sangat berlainan untuk proses yang  sama, misalnya pertumbuhan setelah perkecambahan seperti  yang dirajah pada gambar 22.4b.
Setelah kita mengenal adanya respons positif bila suhu meningkat dan minimum ke optimum, sangatlah mengejutkan untuk mengetahui bahwa beberapa proses tertentu ternyata meningkat bila suhu menurun mendekati titik beku. Pada vernalisasi, pemajanan tumbuhan tertentu pada suhu rendah selama beberapa minggu menyebabkan tumbuhan mampu berbunga, biasanya setelah dikembalikan ke suhu normal. Suhu rendah pada musim gugur sering menyebabkan atau membantu berlangsungnya dormansi pada banyak biji, tunas, atau organ bawah tanah. Suhu rendah pada musim semi dapat membantu berakhirnya dormansi pada organ yang sama. Paradoks yang menarik tentang respons terhadap suhu rendah adalah bahwa suhu rendah mula-mula menyebabkan dormansi dalam tumbuhan, tapi suhu rendah yang berkelanjutan akan mengakhiri dorman. Bila kita terlalu cepat menyimpulkan bahi dormansi adalah pelambatan negatif sederhana dan proses tumbuhan pada suhu yang menurun, maka kita tentulah harus memandang berakhirnya dormansi dalam pengertian positif yang berlawanan. Ini merupakan dilema yang menarik tentang respons terhadap suhu-rendah.
Akan dibahas lima respons positif yang berbeda terbadap suhu rendah. Yang pertama, vernalisasi, telah banyak dikaji, sehingga merupakan topik awal yang baik. Yang  kedua; juga telah dipelajari dengan mendalam, adalah berakhirnya dormansi biji dengan memajankan biji lembap pada suhu rendah. Perlakuan ini sering dinyatakan sebagai stratifikasi, tapi istilah prechilling (perlakuan awal suhu rendah) saat ini lebih populer karena Iebih jeIas. Kita akan lebih banyak berbincang tentang dominansi biji dan perkecambahan daripada tentang respons biji terhadap suhu. Proses ketiga sangat berkaitan: berakhirnya dormansi musim dingin pada tunas tumbuhan berkayu tahunan. Proses keempat kurang dikaji: pengaruh suhu-rendah pada perkembangan organ penyimpan bawah tanah, seperti umbi, subang, dan bulbi. Proses kelima juga kurang dikaji: pengaruh suhu rendah terhadap pembentukan dan pertumbuhan vegetatif tumbuhan tertentu.
Pada setiap proses itu, yang terutama kita perhatikan adalah efek penundaan (kadang disebut efek induktif) pada beberapa proses perkembangan tanaman. Efek seperti itu, yaitu, responsnya baru terIihat beberapa waktu setelah berakhirnya stimulus, juga dijumpai pada respons terhadap faktor lingkungan lain, seperti panjang  hari (fotoperiodisme). Pada kenyataannya efek suhu-rendah dan panjang-hari sering saling berhubungan dalam kelima respons tersebut. Akhirnya, respons terhadap suhu-rendah dapat mempengaruhi kerja gen khusus, yaitu pergantian program morfogenetik akibat suhu rendah. Dapatkah gen itu menanggapi suhu rendah secara langsung? Jika tidak, bagian apa dalam sel yang sebetulnya tanggap, meneruskan isyarat suhu-rendah menjadi perubahan fisiologi? Apakah transduser (sensor) terletak di sitoplasma atau di inti sel, tempat program itu diatur-ulang? Atau di sel lain? Hanya ada sedikit jawaban untuk semua pertanyaan tersebut, tapi berbagai jawaban itu dapat menjadi panduan untuk penelitian lebih lanjut.

22.2 VERNALISASI
Proses vernalisasi (bukan istilahnya) dijelaskan pada sedikitnya 11 terbitan di Amerika Serikat selama pertengahan abad 19 dan awal abad 20 (misalnya, di New American Farm Book tahun 1849), tapi vernalisasi benar-benar diabaikan oleh ilmu ‘mapan’, dan baru mendapat perhatian pada tahun 1910 dan 1918, ketika J Gustav Gassner (baca makalahnya tahun 1918) di Jerman menguraikan vernalisasi tumbuhan bebijian. Banyak kajian awal tentang perkembangan tumbuhan berlangsung di Eropa; Amerika Serikat dan Kanada tampaknya tengah sibuk menaklukkan daerah perbatasan.
Pada tahun 1920an, istilah vernalisasi diciptakan oleh Trofim Denisovich Lysenko, yang oleh perintah Stalin diizinkan memegang kendali politik mutlak terhadap ilmu genetika di Soviet. Dalam proses itu ia mengharuskan ahli genetika berbangsa Soviet menerima dogma tentang pewarisan sifat yang diperoleh (baca Caspari dan Marshak, 1965). Vernalisasi, dan kata Latin, diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘pemusim-semian’, menunjukkan bahwa kultivar musim dingin diubah menjadi kultivar musim semi atau kultivar musim panas oleh perlakuan suhu rendah. Sekarang kita tahu, walaupun Lysenko saat itu tidak menyadari, bahwa susuan genetik tidak berubah oleh perlakuan suhu rendah. Kondisi dingin yang dibuat oleh peneliti hanyalah untuk menggantikan suhu rendah alami musim dingin, seperti untuk tanaman bebijian musim dingin yang ditanam pada musim gugur, misalnya gandum atau beras belanda.
Istilah vernalisasi telah digunakan secara luas dengan pengertian yang salah. Semua respons tumbuhan terhadap suhu rendah kadang dinyatakan sebagai vernalisasi, termasuk juga peningkatan pembungaan akibat perlakuan apa aja (bahkan akibat panjang hari). Kita akan membatasi istilah vernalisasi sebagai peningkatan pembungaan oleh suhu rendah.

Jenis respons
Terdapat banyak respons vernalisasi, yang tidak hanya bergantung pada spesies, tapi sering bergantung pada varietas dan kultivar dalam spesies yang sama. Dalam pengelompokan jenis respons, terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kita harus membedakan respons tertunda dengan tak-tertunda. Sebagian besar tumbuhan yang telah dikaji memberikan respons setelah suatu penundaan, walaupun beberapa di antaranya (contohnya, kubis brussel) membentuk bunga saat berlangsungnya perlakuan suhu rendah itu sendiri.
Cara  yang  tepat untuk mengelompokkan jenis respons adalah menurut umur saat tumbuhan peka terhadap suhu rendah. Tanaman setahun musim dingin. khususnya rumput bebijian, dikaji selama tahun 1930an dan 1940an, khususnya di Uni Soviet dan oleh FrederickG Gregory dan O Nora Purvis (baca Purvis, 1961) Imperial College di London. Respons tumbuhan terhadap suhu rendah telah ada semenjak fase bibit, bahkan fase biji, asal saja cukup tersedia oksigen dan kelembapan. Benih beras belanda (Secale cereale) Petkus umumnya ditanam pada musim dingin, pada waktu benih biasanya berkecambah, dan melewati musim dingin sebagai bibit kecil. Atau, benih lembab dapat diberi perlakuan suhu rendah dalam ruang dingin selama beberapa minggu. Tanaman akan berbunga pada suhu normal sekitar tujuh minggu setelah pentumbuha dimulai di musim semi. Tanpa perlakuán suhu rendah diperlukan 14 sampai 18 minggu untuk membentuk bunga, walaupun akhirnya bunga mekar juga. Karena kebutuhan akan suhu rendah bersifat kuantitatif atau fakultatif (suhu rendah menyebabkan pembungaan lebih cepat), tapi bukan bersifat kualitatif atau mutlak (pembungaan bergantung sepenuhnya pada suhu rendah), maka kita mempunyai dasar lain untuk klasifikasi. Sebagian besar tumbuhan-setahun musim dingin menunjukkan respons yang tertunda atau bersifat kuantitatif, walaupun ada juga (misalnya-gandum Lancer) yang benar-benar membutuhkan suhu rendah.
Terdapat dua masalah menarik pada beras belanda Petkus. Perlakuan hari-pendek dapat menggantikan suhu rendah dalam batas tertentu dan pembungaan tanaman yang divernalisasi sebelumnya, ditingkatkan secara nyata oleh hari-panjang. Semua tumbuhan-setahun musim dingin, sejauh yang sudah dikaji, meningkat akibat suhu rendah, tapi juga akibat hari panjang di akhir musim semi dan awal musim panas berikutnya.
Tumbuhan dwi-tahun hidup dalam dua musim pertumbuhan, kemudian berbunga dan mati (pasal 16.2). Contohnya meliputi beberapa kultivar bit gula, kubis, wortel, dan seledri. Tumbuhan ini berkecambah di musim semi, nembentuk tumbuhan vegetatif yang Iazimnya berbentuk roset (gambar 22.5, kanan bawah). Daunnya sering mengering pada musim gugur, tapi kematiannya pada dasar melindungi mahkota dengan meristem apikalnya. Dengan datangnya musim semi kedua, daun baru terbentuk, dan terjadi pemanjangan pucuk bunga dengan cepat: proses ini dinamakan bolting. Pemajanan pada suhu rendah musim dingin antara dua musim pertumbuhan menyebabkan pembungaan. Sebagian besar tumbuhan dwi-tahun harus mengalami suhu sedikit di atas titik beku selama beberapa hari sampai  beberapa minggu untuk pembungaan berikutnya; tumbuhan itu mutlak perlu suhu rendah, berlawanan dengan tumbuhan setahun musim dingin fakultatif. Tanaman bit gula dapat dipertahankan tetap vegetatif selama beberapa tahun dengan tidak memajankannya pada suhu rendah (gambar22.6). Pembungaan tumbuhan dwi-tahun juga meningkat dengan dialaminya hari panjang setelah suhu rendah, dan beberapa di antaranya mutlak memerlukan perlakuan ini (contohnya, Hyoscyamus niger, gambar 22.5). Tumbuhan dwi-tahun lainnya memerlukan hari netral setelah vernalisasi.

Gambar 22.5 Respons pembüngaan Hyoscyamus niger, spesies yang lazim berbentuk roset, terhadap penyimpanan pada suhu tinggi atau rendah diikuti dengan perlakuan hari-panjang atau hari-pendek. Hanya suhu rendah yang diikuti hari-panjang  yang menyebabkan pembungaan.
Banyak spesies tumbuhan yang memerlukan suhu rendah tidak begitu saja termasuk kategori tumbuhan setahun musim dingin atau tumbuhan dwi-tahun. Sebagai contoh, perbungaan beberapa rumput tahunan ditingkatkan oleh suhu rendah. Beberapa di antaranya, kemudian, memerlukan hari-pendek untuk pembungaan. Krisan merupakan tanaman tahunan hari pendek yang telah banyak dikaji karena respons fotopeniodismenya. Kebutuhan akan suhu rendah ini, yang harus diperoleh sekali sebelum dapat memberikan respons terhadap hari pendek, telah diabaikan karena tanaman diperbanyak secara vegetatif, dan steknya membawa pergi efek vernalisasi. Beberapa tumbuhan berkayu tahunan mempunyai kebutuhan akan suhu rendah untuk pembungaannya (Chouard, 1960), dan beberapa sayuran kebun setahun akan berbunga agak Iebih awal pada musim itu jika terpajan pada perlakuan vernalisasi singkat (Thompson, 1953).
Sebagai rangkuman: Berbagai spesies dibuat berbunga oleh beberapa kali perlakuan suhu rendah. Pada beberapa tumbuhan terdapat respons kuantitatif, dan pada beberapa tanaman lainnya terdapat respons kualitatif. Pembungaan pada banyak spesies juga memerlukan atau ditingkatkan oleh panjang hari yang sesuai. Respons terhadap lingkungan itu mempersiapkan tanaman untuk daur  iklim setahun. Kita tidak berurusan dengan waktu endogenous seperti pada bab sebelumnya, tapi dengan sistem yang kompleks; pada sistem ini, tumbuhan memberikan respons terhadap satu musim dengan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi musim berikutnya.

Lokasi respons suhu-rendah
Adalah tunas, mungkin meristem, yang lazimnya memberikan respons terhadap suhu rendah dengan cara mengalami vernalisasi. Hanya jika tunas diberi suhu rendahlah, tumbuhan akan berbunga. Embrio atau bahkan meristem yang diisolasi dari biji beras belanda juga mengalami vernalisasi. Dengan cara lain, berbagai bagian tanaman yang mengalami vernalisasi dienten ke tanaman yang tak mengalami vernalisasi. Jika meristem yang mengalami ditranspalantasikan, tanaman itu akhirnya akan berbunga. Tetapi, jika meristem tanaman yang tidak mengalami vernalisasi dienten ketanaman yang mengalami vernalisasi setelah meristem yang mengalami vernalisasi dibuang, maka pertumbuhan meristem yang dienten tetap vegetatif.
            SJ Wellensiek (1964) di Belanda menyatakan bahwa vernalisasi memerlukan sel yang terbelah. Beberapa kajian mendukung kesimpulannya, walaupun ada biji yang memberikan respons pada suhu beberapa derajat dibawah titik beku, saat tidak terjadi pembelahan sel dan pengamatan dengan mikroskop tidak berhasil menunjukkan hal itu. Bila pembelahan sel atau replikasi DNA  pada sel tak terbelah itu memang perlu, maka hal tersebut merupakan temuan yang berarti. DNA harus mengalami replikasi sebelum terjadi diferensiasi sel, mungkin bila hanya DNA dipisahkan sementara dari protein kromosom, maka pengaktifan atau penonaktifan gen dapat berlangsung.

Percobaan Fisiologi
Ada satu penelitian fisiologi vernalisasi yang menentukan suhu optimum bagi prose situ. Laju maksimum vernalisasi terjadi pada rentang suhu yang cukup lebar (bergantung pada spesies), dan vernalisasi bahkan berlangsung pada beberapa derajat dibawah titik beku. Biasanya batas bawah ditentukan oleh pembentukan Kristal es didalam jaringan. Lazimnya terdapat rentang suhu optimum yang lebar (sekitar 0 sampai 10° C) dan beberapa efek telah teramati pada sushu sampai setinggi 18 sampai 22° C. jenis lain kajian fisiologi adalah menentukan waktu vernalisasi yang paling efektif. Panjang minimum untuk berbagai efek yang teramati beragam dari 4 hari sampai 8 minggu. Bergantung pada spesies. Waktu jenuh beragam antara 3 minggu untuk gandum musim dingin sampai 3 bulan untuk henbane.
Jika setelah perlakuan vernalisasi tanaman akan segera terpajan pada suhu tinggi, tanaman itu sering tidak berbunga. Kebalikan ini disebut sebagai devernalisasi. Supaya efektif, suhu devernalisasi harus sekitar 30°C atau lebih untuk beras belanda musim dingin, dan diberikan selama beberapa hari dan dalam waktu 4 atau 5 hari setelah suhu rendah (agak lebih lama pada spesies lain). Kenyataannya beberapa vernalisasi dapat diamati bila tanaman dipajankan pada semua suhu diatas suhu yang menyebabkan vernalisasi. Pada beras belanda musim dingin, 15°C merupakan suhu netral, suhu dibawaah itu akan mempercepat pembungaan, dan suhu diatas itu akan menunda pembungaan. Kondisi anaerobik setelah vernalisasi juga menyebabkan devernalisasi, bahkan juga pada suhu netral. Setelah devernalisasi, sebagian besar tumbuhan dapat divernalisasi ulang dengan perlakuan suhu rendah.

Vernalisasi Dan Giberelin
Jika meristem apikal itu sendiri memberikan respon terhadap suhu rendah, stimulus atau hormone pembuangan yang diangkut tampaknya tidak memberika respons. Pada sebagian besar kejadian, efek vernalisasi tidak ditranslokasikan dari satu meristem kemeristem lain, baik dalam tanaman yang sama maupun bila tunas atau tanaman yang divernalisasi dienten ketanaman tanpa vernalisasi. Namun terdapat perkecualian, seperti sudah pernah dilaporan pada tahun 1937 oleh Georg Melchers di Jerman (diulas oleh Lang, 1965b). Penelitian tersebut kemudian dikembangkan di Uni Soviet. Saat Meichers menyambung tanaman henbane yang divernalisasi ke tanaman penerima yang tak pernah mendapat perlakuan suhu rendah, tanaman itu berbunga. Jenis respons tak serupa juga mengirimkan stimulus pembungaan melewati tautan enten; misalnya, tanaman yang perlu suhu rendah dapat diinduksi untuk berbunga tanpa mengalami suhu rendah dengan dienten pada varietas yang tak perlu suhu rendah. Yang sebaliknya juga dapat terjadi, walau tak begitu jelas. Namun, perlu ditegaskan bahwa pengiriman hanya terbatas untuk beberapa spesies. Sebagian besar pengiriman lewat tautan enten tidak berhasil.
Agar percobaan berhasil, tautan enten yang hidup mesti terbentuk antara dua tanaman; kondisi yang mendukung pengangkutan karbohidrat juga mendukung pengangkutan stimulus. Jika tanaman penerima mengering, sedangkan daun yang berfotosintesis tinggal pada tanaman donor, tanaman penerima tentulah mendapat hara dan tanaman donor,  yang memacu pengangkutan stimulus vernalisasi melewati tautan enten.
Meichers menduga ada stimulus vernalisasi hipotetis yang dinamakannya vernalin. Tentulah yang perlu dilakukan adalah mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa itu. Banyak usaha sia-sia yang telah dilakukan, tapi hasil penelitian dengan menggunakan giberelin menunjukkan bahwa sifat giberelin serupa dengan dugaan sifat vernalin. Anton Lang (1957) menemukan bahwa giberelin yang diberikan pada tanaman dwitahun tertentu menyebabkan tanaman itu berbunga tanpa perlakuan suhu rendah (gambar 22.8). Peneliti lain (misalnya Purvis, 1961) menginduksi tumbuhan-setahun musim-dingin dengan memberikan giberelin pada benihnya. Ternyata giberelin alami dibentuk dalam spesies yang memerlukan suhu-rendah selama spesies itu terpajan pada suhu rendah. Jadi, giberelin jelas terlibat dalam vernalisasi.
Apakah giberelin sama dengan vernalin? Banyak alasan yang menyebabkan ahli fisiologi tumbuhan enggan menjawab ya. Bila giberelin (terutama hanya GA3) diberikan pada tanaman roset yang perlu suhu rendah, respons pertama yang teramati adalah pemanjangan pucuk vegetatif, diikuti oleh perkembangan tunas pembungaan pada pucuk itu. Tapi, bila tanaman diinduksi untuk berbunga dengan perlakuan suhu rendah, tunas pembungaan mulai membengkak. Jika respon pembungaan terhadap perlakuan giberelin tidak dapat disamakan dengan induksi alami pembungaan, beberapa pertanyaan dapat diajukan: Dapatkah giberelin menyebabkan perubahan dalam tanaman sehingga terjadi pembungaan atau bahkan menghasilkan vernalin? Dapatkah beberapa molekul yang berbeda mempengaruhi program morfogenetik dengan cara yang pada dasarnya sama?
Mikhail Chailakhyan (1968) di Uni Soviet mengemukakan bahwa terdapat dua senyawa yang terlibat dalam pembentukan bunga: yang pertama adalah giberelin atau senyawa lir-giberelin, dan yang kedua adalah senyawa yang dinamakana antesin. Tanaman yang V memerlukan suhu rendah dan/atau hari panjang mungkin tak mengandung cukup giberelin bila tidak terpajan pada lingkungan penginduksi, sedangkan tanaman hari-pendek mungkin mengandung cukup giberelin, tapi kekurangan antesin. Chailakhyan sependapat bahwa tanaman yang perlu suhu rendah memproduksi vernalin Melchers sebagai - respons terhadap suhu rendah, tapi vernalin kemudian diubah selama hari panjang menjadi giberelin, paling tidak pada tanaman yang memerlukan hari panjang setelah suhu rendah.
Penelitian yang dilakukan puluhan tahun yang lalu oleh Melchers (1937) mendukung pandangan dua-senyawa itu. Tanaman hari-pendek tanpa induksi (tembakau Maryland Mammoth) dienten ke tanaman perlu suhu-rendah tanpa induksi (henbane), menyebabkan tanaman henbane berbunga. Tampaknya, kedua tanaman itu masing-masing mengandung satu senyawa esensial untuk proses pembungaan, tapi harus mendapatkan satu senyawa lagi dan tanaman yang dientenkan padanya. Fenomena ini berlaku untuk henbane, tapi tidak untuk tembakau.

Vernalisasi Dan Fase Induksi
Pembungaan lazimnya terjadi beberapa hari atau minggu setelah perlakuan suhu rendah. Seberapa tetapkah fase induksi ini, yatu kondisi tanaman tervernalisasi, sebelum berbunga? Untuk berbunga, salah satu varietas henbane memerlukan suhu rendah yang diikuti oleh hari panjang. Setelah vernilisasi, pembungaan dapat ditunda dengan hanya memberi hari pendek (lihat gambar 22.5). StimuIus vernalisasi tidak hilang pada tanaman seperti itu setelah 190 hari, walaupun semua daun awal yang terpajan pada suhu rendah telah mall. Barulah setelah 300 hari kondisi vernalisasi mulai hilang. Pada banyak spesies tumbuhan, fase induksi tampak sangat stabil. Misalnya, benih tanaman bebijian tertentu dapat diIembabkan (sampai 40 persen air, kadar yang sangat rendah bagi perkecambahan), divernalisasi, dan kemudian dikeringkan dan dipertahankan selama beberapa bulan sampai beberapa tahun tanpa kehilangan kondisi vernalisasi. Kami perhatikan bahwa kisaran yang diperbanyak dengan stek mempertahankan kondisi vernalisasi awalnya. Namun, fase induksi jauh kurang permanen pada beberapa spesies lainnya.

22.3 DORMANSI
Fenomena
Hanya sedikit tumbuhan yang berfungsi aktif pada suhu mendekati titik beku. Karena itu, bagaimana tumbuhan dapat hidup di daerah dengan suhu mendekati atau di bawah titik beku selama beberapa minggu atau bulan setiap tahunnya? Lazimnya tumbuhan seperti itu menjadi dorman atau kuisen, yaitu tetap hidup, tapi aktivitas metaboliknya rendah. Daun dan tunas tumbuhan-tetap-hijau menurun aktivitasnya selama musim dingin, sedangkan tumbuhan-gugur-daun tahunan menggugurkan daunnya dan membentuk tunas tak-aktif yang khusus. Biji sebagian besar spesies di daerah dingin mengalami dorman atau kuiseñ lama musim dingin. Perubahan tertentu terjadi di dalam sel biji tersebut yang memungkinkannya bertahan pada suhu di bawah titik beku (baca bab 26).
Mungkin suhu itu sendiri mempunyai peran mengendalikan kelangsungan hidup tumbuhan di daerah dingin. Kondisi dorman atau kuisen dan daun dan tunas tumbuhan-tetap-hijau sering terbentuk sebagai respons terhadap suhu rendah, efek yang lazimnya diperkuat oleh hari pendek. Pertumbuhan berikutnya pada musim semi sering bergantung pada lamanya   pemajanan tunas dan biji dorman pada suhu  rendah musim dingin. Tunas atau biji menumpuk atau menjumlahkan periode pajanan pada suhu rendah. Jadi, tanaman mengukur panjang musim dingin dan memperkirakan musim semi, kapan saat yang aman untuk mulai tumbuh dan melonggarkan pertahanan.
Seperti yang sering kita simak dalam pembahasan, situasinya menjadi semakin rumit. Tumbuhan umumnya memberikan respons terhadap berbagai isyarat Iingkungan. Perkecambahan biji, misalnya, dipengaruhi tidak hanya oleh suhu, tapi juga (bergantung pada spesies) oleh cahaya, pemecahan kulit biji agar radikula dapat menerobos keluar dan oksigen dan/atau air dapat masuk, penghilangan zat penghambat kimiawi dan pematangan embrio.

Konsep Dan Tata Nama Dormansi
Ahli fisiologi benih biasanya menetapkan perkecambahah sebagai kejadian yang dimulai dengan imbibisi dan diakhiri ketika radikula (akar lembaga; atau pada beberapa biji, kotiledon/hipokotil) memanjang atau muncul melewati kulit biji (Bewley dan Black, 1982, 1984; Mayer, 1974). Biji dapat tetap viabel (hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena beberapa alasan: kondisi luar atau kondisi dalam. Situasi-dalam yang mudah dipahami adalah embnio yang belum mencapai kematangan morfologi untuk mampu berkecambah (misalnya, pada beberapa anggota Orchidaceae, Orobanchaceae, atau genus Ranunculus). Hanya waktulah yang memungkinkan kematangan ini berkembang. Perkecambahan biji tumbuhan liar sering terhambat oleh situasi-dalam ini, tapi perkecambahan biji berbagai tumbuhan budidaya mungkin hanya terhambat oleh kurangnya kelembaban dan/atau suhu hangat.
Untuk membedakan, kedua keadaan yang berlainan itu, ahli fisiologi benih menggunakan dua istilah: Kuisen, yaitu kondisi biji saat tidak mampu berkecambah hanya karena kondisi-luamya tidak sesuai (misalnya, biji terlalu kering atau terlalu. Dingin) dan dormansi, yaitu kondisi biji yang gagal berkecambah karena kondisi-dalam, walaupun kondisi-luar (misalnya suhu, kelembaban, dan atmosfer) sudah sesuai.
Ada masalah pada tata-nama itu. Biji dorman sering diinduksi untuk berkecambah oleh beberapa perubahan khusus di lingkungan, seperti cahaya atau periode suhu rendah. Di mana kita dapat menarik garis pemisah pada kondisi yang dinyatakan sebagai ‘kondisi-luar yang sesuai’? Lagi pula, ada pengertian bahwa kondisi-dalamlah yang selalu merupakan pembatas. (Jika air merupakan pembatas, maka terjadi kekurangan air dalam sel embrio di biji). Dengan kata lain, kondisi-luar hanya memingkinkan perkecambahan dengan mempengaruhi kondisi-dalam. Kita bahkan lebih tepat mengatakan kondisi dasar saja daripada bergantung pada kata sesuai. Jadi, kita dapat menyebut dormansi sebagai kondisi biji saat biji gagal untuk berkecambah walaupun (1) tersedia cukup banyak kelembaban luar, (2) biji dipajankan ke kondisi atmosfer yang lazim ditemukan pada tanah beraerasi baik atau pada permukaan tanah, dan (3) suhu berada dalam rentang yang biasanya berkaitan dengan aktivitas fisiologi (katakanlah 10—30°C). (Seorang ahli fisiologi benih dapat menetapkan kondisi yang lebih tepat). Karena itu, kuisen merupakan kondisi biji yang gagal berkecambah kecuali bila kondisi tadi diciptakan (Jann dan Amen, 1977). Konsep dormansi mencerminkan konsep induksi; hampir pada semua kejadian, perkecambahan tidak berlangsung selama ada perlakuan yang mengakhiri dormansi, tapi justru sesudahnya.
Seperti telah dinyatakan secara singkat pada pasal 20.6, Lang dkk (1982; baca juga Salisbury, 1986) menyarankan untuk menggunakan istilah ekodormansi dalam pengertian dormansi di sini, dan endodormansi dalam pengertian kuisen. Mereka juga menyatakan paradormansi sebagai suatu bentuk dormansi yang dikendalikan oleh bagian tumbuhan selain dan bagian yang sedang dorman itu (misalnya, dormansi tunas yang dikendalikan oleh daun di dekatnya). Jika saran ini dipakai, mungkin dapat menghilangkan kebingungan yang meliputi tata nama dormansi.
Ada satu istilah lain yang kerap digunakan para penulis dalam bidang kajian ini yaitu pascapematangan yang menunjukkan semua perubahan yang berlangsung di dalam biji (atau tunas) selama berakhirnya dormansi. Penulis lain (misalnya, Leopold dan Kniedemann, 1975) menggunakan istilah itu dalam pengertian yang lebih tepat, terbatas pada perubahan kematangan yang terjadi di dalam embrio selama penyimpanan. Kita dapat menganggap pasca pematangan sebagai perubahan berakhirnya dormansi yang terjadi dalam biji seiring dengan berjalannya waktu, tapi tanpa perlakuan khusus lainnya (Bewley dan Black, 1984).



22.4 MASA HIDUP DAN PERKECAMBAHAN BIJI
Merupakan hal yang menarik bahwa organisme hidup dapat memasuki keadaan semacam mati suri, yaitu tetap hidup, meskipun tidak tumbuh selama jangka waktu yang lama, dan baru mulai tumbuh aktif bila kondisinya sudah sesuai. Ada laporan tentang keberhasilan perkecambahan gandum Emmer dan lumbung kuno makanan ternak di Fayum (disimpan sekitar 6400 tahun yang lalu) atau dari makam Tutankhamen di Thebes (4000 atau 5000 tahun yang lalu). Penyelidikan pada biji itu menunjukkan bahwa biji tersebut tidak hanya mati, tapi juga tidak memiliki komponen asam nukleat yang bobot molekulnya besar (baca Osborne, 1980). Bewley dan Black (1982, 1984) menyatakan bahwa paling tidak salah satu di antara laporan itu (dan tahun 1843; diproduksi-ulang dalam bahasan mereka) pasti bualan belaka. Meskipun demikian, lama hidup beberapa biji memang sangat tinggi, beberapa di antaranya melebihi masa hidup manusia (Mayer dan Poljakoff-Mayber, 1989).
Tabel 22.1 mencantumkan lama hidup beberapa biji. Mimosa glormerata mempunyai kemungkinan lama hidup 221 tahun, tapi masa hidup biji yang lazim adalah antara 10 sampai 50 tahun. Biji mampu-tumbuh lupine (Lupinus arcticus) ditemukan dalam liang tikus (bersama dengan sisa tikus) terbenam jauh di dalam lumpur beku permanen dan masa Plaeistocene di Yukon Tengah (Porsild dkk, 1967). Bahan yang membuns biji ditentukan dengan teknik radio-karboñ, dan ternyata berumur 14.000 tahun, tapi tak ada bukti bahwa biji tersebut berumur setua itu (Bcwley dan Black, 1982). Bjji, mampu-tumbuh teratai (Nelumbo nucifera) \ ditemukan dalam gambut di danau kering di lembah sungai Pulantien, Manchuria Selatan, diperkirakan berumur sangat muda (hasil penentuan dengan radio-karbon), tapi mungkin juga berumur 1000 atau 2000 tahun (penentuan secara arkeologi dari gambutnya). Biji teratai serupa ditemukan di sebuah perahu di danau dekat Tokyo, dan perahu itu ditentukan dengan radio-karbon, dan diperkirakan berumur 300Q tahun; di sini pun tidak disebut-sebut umur bijinya. Namun, Priestly dan Posthumus (1982), dengan menggunakan radio-karbon, menetapkan umur sebagian biji mampu-tumbuh teratai dari Pulantien, dan ternyata umurnya sekitar 466 tahun pada sadit berkecambah. Dan biji mampu-tumbuh yang umurnya ditentukan dengan bukti tak-langsung semata-mata, umur Canna compacta mungkin yang paling tepat dipercaya (Lerman dan Cigliáno, 1971). Tampaknya, biji itu dimasukkan ke dalam buah muda kenari yang sedang tumbuh, dan pada saat buah matang, buah itu pulih kembali, menghasilkan suara berderak. Biji tersebut tertutup rapat di dalam kulit yang mengeras. Umur bahan kulit biji ditentukan dengan radlo-karbon: 620 ± 60 tahun.
Kondisi penyimpanan selalu mempengaruhi daya hidup biji. Meningkatnya kelembaban biasanya mempercepat hilangnya daya hidup, tapi beberapa biji dapat hidup lama bila terendam dalam air (misalnya, Juncus sp. Terbenam selama tujuh tahun atau lebih). Berbagai biji lokal, seperti biji kapri dan kedelai, tetap mampu-tumbuh lebih lama bila kandungan airya diturunkan dan biji disimpan pada suhu rendah. Penyimpanan dalam pot atau di udara terbuka pada suhu sedang sampai tinggi biasanya menyebabkan biji kehilangan air, dan sel akan pecah bila biji diberi air. Pecahnya sel melukai embrio dan melepaskan hara yang merupakan bahan yang , baik bagi pertumbuhan patogen. Tingkat oksigen normal umumnya merugikan masa, hidup biji. Kehilangan daya-hidup terbesar terjadi bila biji disimpan pada udara lembab dengan suhu 35°C atau Iebih. Kehilangan daya-hidup dapat disebabkan oleh patogen-dalam. Beberapa biji tetap hidup lebih lama jika dibenamkan dalam tanah dibandingkan dengan bila disimpan dalam botol di rak laboratoniurn mungkin karena perbedaan cahaya, 62, CO2, kelembaban, dan etilen.
Beberapa biji mempunyai masa hidup yang amat pendek. Biji Acer saccharin urn, Zizana aquatica, Salix japonica,. dan S. pierotti kehilangan daya-tumbuhnya dalam seminggu jika diletakkan di udara terbuka. Bila spesies lainnya tetap dapat-tumbuh hanya selama beberapa bulan sampai kurang dan satu tahun; dinamakan rekalsitran.
Sering biji tersebut mati hanya karena kelembabannya sedikit hilang, atau biji tidak mampu bertahan pada suhu rendah (misalnya, biji tanaman pepohonan tropika). Hail ini merupakan besar dalam penyimpanan biji dalam cairan nitrogen dengan tujuan pengawetan genetic (seperti di Laboratorium Benih Nasional di Fort Collins, Colorado).   
                                                                                                                                                          
Bagaimana cara biji umur-panjang tetap mampu-tumbuh demikian lama? Selama biji tetap hidup, biji mempertahankan bahan pangan cadangannya di dalam sel; segera setelah biji mati, bahan itu mulai bocor keluar. Biji yang dorman, tapi yang mampu-tumbuh, dapat tetap menempel pada kertas saring basah selama berbulan-bulan; setelah mati, biji itu akãn segera tertutupi bakteri dan hifa fungi yang tumbuh pada makanan yang bocor keluar. Sudah terbukti bahwa biji mampu-tumbuh menghasilkan antibiotik yang mencegah serangan patogen. Namun, apakah yang mempertahankan keutuhan membran? Tak seorang pun tahu.
Apa yang tetadi selama perkecambahan? Walaupun masih terlalu disederhanakan, ahli fisiologi benih menyatakan ada empat tahap: (1) hidrasi atau imbibisi; selama kedua periode tersebut, air masuk ke dalam embrio dan membasahi protein dan koloid lain, (2) pembentukan atau pengaktifan enzim, yang menyebabkan peningkatan aktivitas metabolik, (3) pemanjangan sel radikel, diikuti munculnya radikel dan kulit biji (perkecambahan yang sebenarnya), dan (4) pertumbuhan kecambah selanjutnya. Lapisan yang membungkus embrio, yaitu endosperma, kulit biji, dan kulit buah, dapat mengganggu masuknya air dan/atau oksigen. Lapisan itu pun bertindak sebagai penghalang mekanis agar radikula tidak muncul (pasal 20.6). Pàda biji lain, lapisan itu mencegah bocornya senyawa penghambat dati embrio atau mengandung senyawa penghambat itu sendiri. Apakah penyebab dormansi, apakah keuntungan ekologis dan mekanisme dormansi, dan bagaimanakah berbagai bentuk dormansi diakhiri agar perkecambahan dapat berlangsung?

22.5 DORMANSI BIJI
Goncangan Dan Skarifikasi
Contoh paling mudah mengenai dormansi adalah adanya kulit biji yang keras yang menghalangi penyerapan oksigen atau air. Kulit biji yang keras itu lazim terdapat pada anggota famili Fabaceae (Leguminosae), walaupun tidak terdapat pada buncis atau kapri, yang menunjukkan bahwa dormansi tidak umum pada spesies yang dibudidayakan. Pada beberapa spesies, air dan oksigen tidak dapat menembus biji tertentu karena jalan masuk dihalangi oleh sumpal seperti-gabus (sumpal strofiolar) pada lubang kecil (lekah strofiolar) di kulit biji. Bila biji digoncang-goncang, kadang sumpal itu lepas sehingga dapat berlangsung perkecambahan. Perlakuan itu dinamakan goncangan, dan telah diterapkan pada biji Melilotus alba (semanggi manis), Trigonella arabica, dan Crotallaria egyptica.
Albizzia lophantha merupakan tumbuhan kacangan berukuran kecil di Australia Barat bagian barat daya (Dell, 1980). Sebagian besar biji berkecambah hanya di lapisan tebal abu setelah terjadi kebakaran padang; kurang dan 5 persen yang dapat berkecambah tanpa panas. Ternyata, masuknya air ke dalam biji dihalangi oleh sumpal strofiolar sampai sumpal itu terpental keluar bila biji itu kena panas. Jadi, penyebaran tumbuhan ini terhambat bila tidak ada kebakaran dan dengan adanya sumpal strofiolar.
Pemecahan penghalang kulit biji dinamakan skarifikasi atau penggoresan. Untuk itu digunakan pisau, kikir, dan kertas amplas. Di alam, goresan tersebut mungkin terjadi akibat kerja mikroba, ketika biji melewati alat pencernaan pada burung atau hewan lain, biji terpajan pada suhu yang berubah-ubah, atau terbawa air melintasi pasir atau cadas. Di laboratonium dan di bidang pertanian (bila perlu) digunakan alkohol atau pelarut lemak lain (yang menghilangkan bahan berlilin yang kadang menghalangi masuknya air) atau asam pekat. Sebagai contoh, perkecambahan biji kapas dan berbagai tanaman kacangan tropika dapat sangat dipacu dengan merendam biji terlebih dahulu dalam asam sulfat selama beberapa menit sampai satu jam, dan selanjutnya dibilas untuk menghilangkan asam itu.
Skarifikasi secara ekologis sangat penting. Waktu yang diperlukan untuk menuntaskan skanifikasi secara alami dapat mencegah terjadinya perkecambahan dini pada musim gugur atau selama periode panas yang tak lazim pada musim dingin. Skanifikasi dalam alat pencernaan burung atau hewan lain menyebabkan perkecambahan biji setelah biji tersebar lebih luas. Biji yang tercuci selama terbawa aliran air di gurun tidak hanya mengalami skarifikasi, tapi sering berakhir di tempat yang banyak mengandung air. Dean Vest (1972) memperlihatkan hubungan simbiosis dan mutualistis antara fungi dan biji Atriplex confertifolia yang tumbuh di gurun Great Basin. Fungi tumbuh di kulit biji, merekahkan kulit itu sehingga perkecambahan dapat berlangsung. Pertumbuhan fungi terjadi hanya bila kondisi suhu dan kelembapan sesuai baginya selama awal musim semi, yaitu waktu yang paling .,tepat bagi kecambah untuk dapat bertahan hidup.
Seperti telah dinyatakan sehubungan dengan Albizzia, kebakaran padang merupakan cara alami lain yang sangat penting. Beberapa biji, khususnya dalam kondisi seperti pada vegetasi semak pada iklim Mediteran (contohnya California Selatan), mengalami skarifikasi dengan baik akibat kebakaran yang lazim terjadi di sana. Hasilnya, terjadi pemulihan yang cepat di wilayah itu setelah terjadi kebakaran. Kebakaran padang juga ,memusnahkan tajuk daun yang umumnya menyerap cahaya merah yang menyebabkan spektrum cahaya menjadi kaya akan cahaya merah-jauh yang menghambat perkecambahan biji (baca pasal 20.7).
Senyawa Penghambat Osmotik Dan Kimia
Apakah yang menyebabkan biji pada buah tomat yang masak tidak berkecambah di dalam buah? Padahal, suhunya biasanya sangat- sesuai, dan kelembaban serta oksigennya pun cukup. Jika biji dikeluarkan dan buah, dikeringkan, dan ditanam, biji itu segera berkecambah; ini menunjukkan bahwa biji itu sudah cukup matang untuk berkecambah. Memang, biji itu bahkan bisa berkecambah jika diambil langsung dan buah dan dibiarkan mengambang di permukaan air. Di dalam buah, potensial osmotik air buah terlalu negatif untuk perkecambahan (Bewley dan Black, 1984). Zat penghambat khusus mungkin juga ada, persis seperti ABA dalam endosperma yang sedang berkembang dan biji alfalfa, yang berfungsi sebagai penghambat perkecambahan embrio. Buah lain menyaring panjang gelombang yang diperlukan untuk perkecambahan. (Sebagian besar dari kita telah mengetahui bahwa ada biji yang berkecambah di dalam buah jeruk; jadi, memang terjadi vivipari seperti yang dibahas pada pasal 18.5).
Senyawa penghambat kimia sering juga terdapat di dalam biji, dan sering penghambat ini harus dikeluarkan lebih dulu sebelum perkecambahan dapat berlangsung. Di alam, bila terdapat cukup curah hujan yang dapat mencuci penghambat dari biji, tanah akan cukup basah bagi kecambah baru untuk bertahan hidup (Went, 1957). Hal ini khususnya penting di gurun, karena kelembaban lebih menentukan daripada faktor lain seperti suhu. Vest (1972) mendapatkan bahwa biji Atriplex mengandung cukup banyak natrium klorida untuk menghambat perkecambahan biji secara usmotik (baca juga Koller, 1957). Biasanya senyawa penghambat lebih rumit daripada garam dapur (Evenari, 1957; Ketring, 1973), dan penghambat mewakili berbagai macam kelompok senyawa organik. Beberapa di antaranya adalah kompleks pelepas-sianida (khususnya di biji Rosaceae), sedangkan lainnya adalah senyawa pelepas-amonia. Minyak sawi umum terdapat pada Brassicaceae (Cruciferae). Bahan organik penting lainnya meliputi asam organik, Iakton tak-jenuh (khususnya kumarin, asam parasorbat, dan protoanemonin), aldehid, minyak esensial, alkaloid, dan senyawa fenol. ABA sering terdapat pada biji dorman, tapi kebanyakan sudah hilang  jauh sebelum dormansi berakhir (Bewley dan Black, 1984; Walton, 1977). Jadi, ABA mungkin merupakan penghambat kuat bagi perkecambahan bila senyawa tersebut ada, tapi pastilah masih banyak penghambat lain yang menyebabkan dormansi biji.
Penghambat perkecambahan tidak hanya terdapat di biji; tapi juga di daun, akar, dan bagian tumbuhan lain. Bila terbawa keluar tumbuhan atau dilepaskan selama pembusukan sampah, senyawa penghambat dapat menghambat perkecambahan biji atau perkembangan akar di sekitar tanaman induk. Senyawa yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan yang mengganggu tumbuhan lain dinamakan alelopati (bab 15). (Tentu saja, alelopati tidak menyebabkan dormansi dalam pengertian biasa). Bahkan ada beberapa bahan yang dihasilkan oleh organisme lain yang bentindak sebagai pemacu perkecambahan. Sebagai contoh, nitrat adalah pemacu perkecambahan yang lazim digiinakan di laboratorium fisiologi benih dan senyawa ini dihasilkan oleh pembusukan sisa tumbuhan atau hewan.
Sebelum beralih dari topik ini, perlu diingat bahwa banyak senyawa yang sudah kita kenal yang bukan produk alam dapat sangat mempengaruhi perkecambahan dengan berbagai cara. Senyawa sintetik antara lain berbagai senyawa pengatur tumbuh yang saat ini penting secara komersil (contohnya, Dalapon). Tiourea digunakan di laboratorium sebagai pemacu perkecambahan, dan nitrat serta nitrit sering digunakan untuk merangsang perkecambahan berbagai biji gulma, khususnya spesies rumputan.

Perlakuan Awal Suhu-Rendah Atau Pendinginan Awal
Banyak biji, terutama biji spesies Rosaceae seperti buah-batu (persik, prem, ceri), berbagai pohon gugur-daun lainnya, beberapa konifer, dan beberapa herba spesies Polygenum tdak akan berkecambah kalau bijinya tidak terpajan pada suhu dan oksigen rendah dalam kondisi lembab selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan (gambar 22.9). Crocker dan Barton (1953) mencantumkan 62 spesies seperti itu, dan banyak, lagi yang ditemukan sejak itu. Amat jarang, -biji lembab tanggap terhadap suhu tinggi, dan beberapa biji memberikan respons terbaik bila suhu harian bergantian antara tinggi dan rendah. Tindakan meletakkan biji selama musim dingin di dalam wadah berisi pasir dan gambut lembab dinamakan stratifikasi. Karena biji dalam wadah harus diberi suhu rendah sebelum mereka mau berkecambah, istilah yang lebih populer dan jelas daripada stratifikasi saat ini adalah perlakuan awal suhu-rendah atau pendinginan awal (prechilling). Pendinginan awal di laboratorium benih dan untuk percobaan fisiologi biasanya dilakukan dalam inkubator atau ruang tumbuh. Di alam, kebutuhan akan suhu-rendah menyebabkan biji tidak berkecambah dini di musin gugur atau selama periode panas yang tak biasa di musim dingin.
Apakah perubahan yang berlangsung dalam biji selama pendinginan awal, yang memungkiñkan biji selanjutnya berkecambah bila kondisi sudah sesuai? Sebagian besar biji, termasuk yang memerlukan suhu rendah, kaya akan lemak dan protein, tapi mengandung sedikit pati (Nikolaeva, 1969; Lang, 1965a). Selama pendinginan awal, embrio beberapa spesies tumbuh sangat cepat dengan memindahkan senyawa karbon dan nitrogen darl sel penyimpan-makanan. Gula terhimpun, dan hal ini mungkin diperlukan sebagai sumber energi dan untuk menarik air secara osmosis, yang selanjutnya menyebabkan perkecambahan. Bahkan pada biji yang perlu suhu rendah seperti Fraxinus excelsior, yang embrionya sudah berkembang penuh sebelum stratifikasi, perombakan besar-besaran lemak terjadi dalam embrio itu sendiri selarma suhu rendah. Kandungan protein meningkat, dan pati kemudian menghilang.
Mungkin zat penghambat hilang selama pendinginan awal, dan/atau pemacu tumbuh seperti giberelin atau sitokinin terhimpun (Khan, 1977). Auksin tidak terlalu berpengaruh pada perkecambahan, tapi giberelin sering menggantikan semua atau sebagian pendinginan, sama seperti yang terjadi pada vernalisasi. Mungkin giberelin terhimpun selama stratifikasi dalam jumlah yang dapat menanggulangi dormansi, tapi sebagian besar data yang diperoleh sampai sejauh ini menentang perkiraan ini (Bewley dan Black, 1982, 1984). Efek sitokinin biasanya kurang jelas dan kurang tersebar. Dapat dikatakan bahwa bentuk fitokrom penyerap-merah-jauh (Pfr) merupakan pengatur tumbuh yang diperlukan untuk perkecambahan berbagai macam biji, seperti dibahas pada bab 20.

Baik hilangnya penghambat maupun terhimpunnya hormon di dalam biji telah diamati, tapi terdapat banyak pertentangan. Pada pasal 20.6 dibahas kajian serupa yang menggunakan biji perlu-cahaya. Disimpulkan bahwa radikelnya harus dianalisis karena perubahan di bagian lain biji dapat menyebabkan tidak teramatinya perubahan penting pada radikel berukuran kecil. Arias dan rekannya (1976) mengukur giberelin di poros embrio dan di sel kotiledon penyimpan-makanan pada pohon hazel (Corylus avellana), pada tumbuhan ini giberelin dapat menggantikan kebutuhan akan pendinginan awal. Walaupun selama pendinginan awal hanya terjadi sedikit penimbunan giberelin di kedua bagian itu, perlakuan tersebut - memungkinkan poros embrio mensintesis giberelin bila dikembalikan ke suhu perkecambahan 20°C. Hal ini tidak terjadi pada kotiledon yang jauh lebih besar. Konsentrasi GA di poros embrio menjadi 300 kali lebih tinggi daripada di kotiledon. Kajian serupa perlu dilakukan dengan biji lain, apalagi sekarang sudah tersedia metode analisis modern seperti KG-SM dan pengamatan ion tertentu yang memungklnkan analisis yang peka terhadap harmon dan senyawa lain di bagian tanaman yang kecil (simak pasal 17.2).
Dasar-dasar molekuler untuk mengakhiri segala macam dormansi di biji masih harus terus diteliti, antara lain karena beberapa laporan tampak saling bertentangan. Sebagai contoh, senyawa yang menghambat respirasi, seperti nitrit, sianida, azida, malonat, tiourea, dan tiotreitol, sering dapat mengakhiri dormansi biji. Sebaliknya, Roberts dan Smith (1977) serta peneliti lain menunjukkan bahwa peningkatan kadar oksigen, yang seharusnya meningkatkan respirasi, dapat menyebabkan perkecambahan beberapa macam biji dorman.
Di manakah letak mekanisme dormansi? Pertimbangkan tiga kemungkinan: kulit biji mengandung senyawa kimia yang menghambat pemanjangan radikula; kuilt biji atau endosperma bertindak sebagai penghalang mekanis bagi pemanjangan; dan/atau radikula itu sendiri tidak mampu tumbuh bila tidak diberi pendinginan awal. Embrio berbagai biji, yang telah diberi pendinginan awal, akan tumbuh bila ditempatkan pada suhu lebih hangat, tapi embrio tanpa pendinginan awal tidak akan tumbuh. Dalam hal ini, suhu rendah tentulah bertindak Iangsung pada embrio. Sama halnya, embrio yang sedang tumbuh di biji walnut yang diberi perlakuan pendinginan awal dapat memberi tekanan mekanis, setidaknya 1,0 MPa lebih besar daripada yang diberikan oleh embrio tanpa pendinginan awal yang tak mampu merekahkan kulit biji. Pada berbagai spesies lilac, termasuk Syringa vulgaris, pendinginan awal tidak berpengaruh pada ketahanan mekanis endosperma atau kandungan zat penghambatnya. Tapi, radikula dan embrio yang mendapat pendinginan awal akan memanjang dalam larutan yang potensial airnya sekitar 0,5 MPa lebih negatif dibandingkan dengan potensial air larutan yang memungkinkan embrio tanpa pendinginan akan tumbah (Junttila, 1973). Jadi, terdapat bukti yang kuat bahwa embrio itu sendiri tanggap terhadap suhu rendah, tapi hanya ada sedikit bukti langsung bahwa zat penghambat dalam kulit biji dipengaruhi, walaupun zat penghambat itu memang sering dijumpai.
Pendinginan awal pada biji kadang sangat memperlambat pertumbuhan, selain mengakhiri dormansi. Jika embrio kecambah persik diambil dan kotiledonnya, embrio itu akan berkecambah tanpa pendinginan awal, tapi kecambah sering kerdil dan abnormal., Bila diberi pendinginan awal, embrio itu akan tumbuh menjadi kecambah normal. Jadi yang menjamin kenormalan adalah pendinginan awal, bukan karena adanya kotiledon. Karena tumbuhan kerdil sering kehilangan sifat kekerdilannya bila disemprot dengan giberelin, maka tumpukan giberelin atau hormon lain selama pendinginan awal berperan dalam menghilangkan sifat kerdil tersebut. Atau, pendinginan awal dapat meningkatkan potensi untuk mensintesis giberelin.

Cahaya
Pada pasal 20.1 dan 20.6 telah dinyatakan bahwa cahaya mengendalikan perkecambahan berbagai biji, dan dibahas beberapa kerumitan respons tersebut. Jelas terdapat beberapa isyarat lingkungan, yang sering saling berinteraksi dengan cara yang ruwet, yang mengendalikan proses perkecambahan.

22.6 DORMANSI KUNCUP
Di wilayah beriklim sedang, dormansi biji dan kuncup mempunyai banyak persamaan. Pada kuncup, induksi dormansi sama pentingnya dengan berakhirnya dormansi. Dormansi kuncup hampir selalu berkembang sebelum terbentuknya warna pada musim gugur dan mengeringnya daun. Kuncup berbagai pohon berhenti tumbuh di tengah musim panas, kadang memperlihatkan sedikit pertumbuhan kembali di akhir musim panas sebelum memasuki dormansi penuh di musim gugur. Kuncup bunga yang akan tumbuh pada musim berikutnya biasanya terbentuk pada pohon buah-buahan di tengah musim panas. Daun tetap berwarna hijau dan berfotosintesis secara aktif sampai awal musim gugur ketika daun mulai mengering sebagai respons terhadap siang hari yang pendek, cerah, dan dingin. Sejalan dengan hilangnya klorofil, pigmen karotenoid kuning dan jingga menjadi tampak, dan antosianin (terutama glikosida sianidin) disintesis. Buah, misalnya apel, sering matang selama waktu ini. Ketahanan bunga es juga terbentuk sebagai respons terhadap suhu rendah dan hari pendek musim gugur.
Pada banyak spesies, dormansi kuncup diinduksi oleh suhu rendah, tapi ada juga respons terhadap panjang hari, khususnya jika suhu tetap tinggi. Pada beberapa pohon gugur-daun yang dikaji di Beltsville, Maryland (Downs dan Borthwick, 1956), perlakuan hari-pendek menyebabkan teradinya pembentukan kuncup akhir yang dorman dan terhambatnya pemanjangan ruas dan pembesaran daun, tapi sering daun tidak gugur. Malam yang panjang, yang setiap kali disela oleh cahaya, mempunyai efek yang sama seperti siang hari yang panjang. Kuncup pohon birkin (Betula pubescens) dapat langsung  mendeteksi panjang hari, tapi pada tanaman lain daunlah yang biasanya mendeteksi fotoperiode, walaupun dormansi terjadi di kuncup (Wareing, 1956). Mungkin fenomena yang berhubungan ini, seperti fenomena Iainnya, disebabkan oleh pengatur tumbuh, mungkin asam absisat (pasal 18.5).
Selalu ada interaksi Di Beltsville, kajian yang menggunakan pohon gugur-daun memperlihatkan bahwa induksi dormansi oleh hari-pendek teramati pada suhu antara 21°C dan 27°C. Tapi, pada suhu antara 15° dan 21°C pertumbuhan batang sangat lambat, baik pada hari panjang maupun hari pendek suhu rendah menghilangkan pengaruh panjang hari.
Ras genetik yang berbeda dalam satu spesies, dinamakan ekotipe (simak pasal 25.4), sering mempunyai respons dormansi yang sangat berbeda. Sebagai contoh, Thomas O Perry dan Henry Hellmers (1973) mendapatkan bahwa ras utara (Massachusetts) mapel merah (Acer rubrum) membentuk dormansi musim dingin sebagai respons terhadap hari pendek dan suhu rendah di dalam ruang tumbuh, tapi ras selatan dan Florida tidak. Ole M Heide (1974) mempelajari cemara Norwegia (Picea abies). Cemara dan Austria (lintang 47°) berhenti memanjang bila panjang hari 15 jam atau kurang, sedangkan cemara dan Norwegia bagian utara (lmntang 64°) berhenti memanjang bila panjang hari 21 jam atau kurang. Keduanya sudah berhenti tumbuh dengan baik sebelum muncul bunga es yang mematikan. Suhu tidak terlalu berpengaruh, tapi pohon dan dataran tinggi berhenti memanjang bila panjang hari lebih lama dan yang diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan pohon pada lintang  yang sama, tapi pada ketinggian yang rendah. Heide juga mendapatkan bahwa akar tidak memberikan respons terhadap fotoperiode yang dibenikan pada pucuk. Dengan beberapa kekecualian, akar terus tumbuh selama hara dan air tersedia, sampai suhu tanah menjadi terlalu dingin (Kramer dan Kozlowskl, 1979). Jelas bahwa pohon seperti itu beradaptasi dengan baik pada lingkungan tempatnya tumbuh secara alami. Mapel Florida, misalnya, hanya tumbuh di iklim selatan yang hangat karena tidak segeraa mengalami dormansi pada musim gugur.
Tiadanya air sering mempercepat pembentukan dormansi, sama seperti terbatasnya hara mineral, khususnya nitrogen. Hal ini mungkin penting bagi spesies yang memasuki dormansi sebelum terjadinya suhu tinggi dan kekeringan di daerah tropika atau wilayah beriklim kering. Juga dikenal pembentukan dormansi sebagai respons terhadap perubahan panjang hari (dan bahkan perubahan suhu tanah).
Dormansi-kuncup-sebagian berlangsung mendahului dormansi sejati, dan hal itu dapat dengan mudah dibalik oleh suhu sedang dan hari panjang (atau cahaya terus menerus). Namun, secara bertahap upaya untuk menginduksi pertumbuhan aktif gagal dan kemudian tumbuhan mencapai dormansi sejati yang memerlukan perlakuan khusus untuk mengakhirinya (Vegis, 1964).
Morfologi berperan penting dalam fenomena dormansi. Kuncup dorman lazimnya mempunyai ruas sangat pendek dan daun yang secara khusus berubah (dinamakan sisik kuncup). Sisik itu mencegah pengeringan, menghalangi kehilangan bahang sebentar, dan membatasi gerak oksigen ke meristem di bawahnya. Sisik kuncup juga tanggap terhadap cahaya ruang dan/atau mempunyai fungsi lain. Boleh dikatakan sisik kuncup dapat disamakan dengan kulit biji.
Faktor hormon yang terlibat dalam dormansi tidak diketahui, tapi pada tanaman pepohonan diketahui bahwa asam absisat berpengaruh (Walton, 1980). Pada pertengahan tahun 1960an, sekelompok peneliti melaporkan bahwa mereka dapat menginduksi pembentukan kuncup sehat pada beberapa jenis pohon dengan memberikan ABA melalui daun, tapi tak seorang pun yang dapat mengulanginya lagi. Phillips dkk (1980) menyusun daftar berbagai contoh data yang saling bertentangan tentang apakah ABA terhimpun pada jaringan dorman. Karena data yang saling bertentangan itu, saat ini tak mungkin menyimpulkan bahwa ABA umumnya menyebabkan dormansi.
Dormansi juga berakhir bila terdapat suhu dan/atau panjang hari tertentu. Efek suhu telah dikaji sejak tahun 1880 (baca Leopold dan Kniedemann, 1975), tapi efek panjang-hari baru dikenal sejak akhir 1950an. Karena daun memberikan respon terhadap panjang-hari yang mempengaruhi induksi dormansi dan pembungaan, tampaknya masuk akal bahwa daun merupakan satu-satunya organ tumbuhan yang tanggap terhadap panjang hari. Tapi, sekarang diketahui bahwa dormansi berakhir bila hari panjang dialami pohon tanpa-daun misalnya: birkin, beech, larch, yellow poplar, sweet gum, dan red oak. Kecuali beech, semua spesies tersebut juga tanggap terhadap periode suhu rendah. Pada spesies yang lain, suhu rendah harus diikuti oleh hari panjang. Bahkan di pertengahan musim dingin, spesies tumbuhan gugur-daun tertentu akan tanggap terhadap perlakuan hari-panjang (terutama cahaya terus-menerus).
Dormansi di tengah musim panas terjadi pada beberapa spesies (khususnya tumbuhan tetap-hijau), saat batang berhenti memanjang selama jangka waktu tertentu. Dormansi ini lazimnya berakhir bila tumbuhan mengalami lebih banyak hari-panjang.
Organ manakah yang tanggap terhadap hari panjang yang mengakhiri dormansi? Tampaknya sisik kuncup itu sendiri tanggap, atau cukup banyak cahaya masuk yang dapat menimbulkan respons dalam jaringan daun primordia di bagian dalam kuncup. Mungkin, baik induksi pembungaan oleh hari pendek maupun berakhirnya dormansi oleh hari panjang merupakan respons fitokrom, tapi hal ini belum jelas. Pada beberapa penelitian tentang induksi hari pendek, cahaya merah ternyata paling efektif dalam interupsi malam, dan pengaruhnya agak terbalik oleh pajanan berikutnya pada cahaya merah-jauh, tapi pembalikan ini tidak berlaku pada beberapa penelitian lain.
Dormansi pada berbagai kuncup dapat diakhiri dengan memberi suhu rendah. Suhu rendah di bawah 10°C diperlukan selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada pohon buah-buahan, suhu 5 sampai 7°C lebih efektif daripada 0°C. Penelitian yang cukup banyak telah dilaksanakan pada pohon buah-buahan untuk menentukan periode suhu rendah tersingkat yang diperlukan untuk mengakhiri dormansi; periode waktu ini akan menentukan daerah paling selatan di wilayah lintang utara yang masih memungkinkan tanaman itu dapat tumbuh. Sebagai contoh, apel memerlukan waktu 1000 sampai 1400 jam pada suhu sekitar 7°C. Telah diperoleh kemajuan dalam memilih kultivar persik yang membutuhkan periode suhu rendah yang lebih singkat daripada normal, sehingga dapat ditanam di daerah yang musim dinginnya lebih hangat. Suhu tinggi yang dialami setelah suhu rendah ternyata menginduksi kembali dormansi pada tanaman apel; keadaan ini sama seperti devernalisasi.
Pengaruh pendinginan awal terhadap berakhimya dormansi tidak diteruskan dalam tumbuhan, tapi terbatas pada setiap kuncup. Sebagai contoh, semak lilian yang dorman dapat ditempatkan dengan hanya satu cabangnya menjulur keluar melalui lubang kecil pada dinding rumah kaca. Cabang yang terpajan pada suhu rendah musim dingin itu akan berdaun di awal musim semi, sedangkan bagian tanaman lainnya di sebelah dalam rumah kaca tetap dorman.
Perlakuan beberapa senyawa kimia pada kuncup dapat mengakhiri dormansi. Misalnya, 2-kloroetanol (ClCH2CH2OH), sering disebut etilen klorohidrin, telah digunakan dengan berhasil selama bertahun-tahun. Bila diberikan dalam bentuk uap. senyawa ini dapat mengakhiri dormansi pohon buah-buahan. Perlakuan lain yang sederhana tapi efektif adalah perendaman bagian tumbuhan dalam bak air hangat (40 sampai 50°C) selama 15 detik. Pemberian giberelin mengakhiri dormansi kuncup pada banyak tumbuhan gugur-daun, juga mengakhiri dormansi biji yang memerlukan suhu rendah, dan menyebabkan pembungaan pada tumbuhan yang memerlukan suhu rendah.



22.7 ORGAN PENYIMPAN BAWAH TANAH
Pada umumnya kondisi suhu akan menginduksi pembentukan organ penyimpan di dalam tanah seperti bulbi, subang, dan umbi. Pada beberapa spesies, dormansi juga dapat diakhiri atau pertumbuhan berikutnya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Pada spesies lain, panjang hari juga mempengaruhi pembentukan organ tersebut.
Kentang
Umbi kentang terbentuk dari pembengkakkan pada ujung batang bawah tanah yang disebut stolon, yang berasal dari nodus bagian pangkal batang dalam tanah. Pembentukan itu dapat berlangsung pada rentang suhu dan panjang hari yang lebar. Ahli fisiologi tumbuhan (Vreugdenhil dan Struik, 1989) menguraikan empat tahap dalam pembentukan umbi: (1) Induksi dan pertumbuhan-awal stolon, (2) pertumbuhan stolon (pemanjangan dan pembentukan cabang), (3) terhentinya pertumbuhan membujur pada stolon, dan (4) induksi dan pertumbuhan-awal umbi, yang menghasilkan pertumbuhan melebar pada ujung stolon, membentuk umbi. Keempat tahap itu dapat dipisah-pisahkan secara eksperimen karena tiap tahap dipengaruhi secara berlainan oleh kondisi lingkungan yang berbeda dan oleh perlakuan hormon yang berbeda.
Pertumbuhan awal stolon dapat terjadi bahkan sebelum pucuk berdaun muncul, jadi tidak bergantung pada isyarat dari pucuk. Tahap ini dapat berlangsung dalam rentang suhu dan panjang hari yang lebar, tapi perkembangan stolon menjadi umbi biasanya (bergantung pada kultivar) memerlukan kondisi yang lebih khusus. Tampaknya, untuk pertumbuhan-awal stolon diperlukan kadar giberelin yang tinggi dan kadar sitokinin yang tidak terlalu tinggi. Hari panjang menguntungkan bagi pemanjangan stolon, sedangkan hari pendek menghentikan pertumbuhan stolon (Champan, 1958). Hari pendek juga mengakibatkan menurunnya kadar giberelin dalam tumbuhan, dan hal ini mungkin yang menyebabkan stolon berhenti memanjang. Penghambatan pemanjangan stolon dapat dilakukan tanpa menghambat pembesarannya (yang membentuk umbi), tapi lazimnya kedua proses ini berlangsung bersamaan. Etilen menghentikan pembentukan stolon (contohnya, sebagai respons terhadap tahanan mekanis dalam tanah), namun etilen juga menghentikan pembentukan umbi (Mingo-Castel dkk, 1976). Bila kondisi menguntungkan, umbi mulai tumbuh. Hal ini lebih dan sekadar, respons terhadap giberelin dan etilen yang lebih rendah, yang keduanya berpengaruh negatif; terdapat juga bukti yang kuat tentang adanya senyawa penginduksi umbi yang terbentuk di daun beberapa kultivar sebagai respons terhadap hari pendek. Dijumpai semua sifat yang diharapkan pada fotoperiodisme, termasuk malam kritis dan efek penghambatan akibat pemberian cahaya sebentar-sebentar selama periode gelap (simak bab 23 dan Champman, 1958). Terdapat perbedaan nyata antara beberapa kultivar, tapi sebuah kajian menunjukkan bahwa pembentukan umbi tidak memerlukan hari pendek, tapi tetap berlangsung pada semua panjang hari (respons hari netral) bila suhu malam di bawah 20°C. Pembentukan umbi paling baik pada suhu malam sekitar 12°C. Interaksi antara fotoperiode dan suhu seperti itu sudah lazim, seperti juga pada vernalisasi dan dormansi. 
Stolon biasanya dinyatakan sebagai batang mendatar di atas tanah, seperti pada arbei. Batang mendatar di dalam tanah adalah rimpang. ‘Stolon’ kentang (istilah yang digunakan oleh ahli fisiologi yang bekerja menekuni kentang) biasanya di dalam tanah, tapi dapat juga di atas tanah; pada keadaan gelap, kuncup kentang di atas tanah dapat juga berkembang menjadi stolon.
Pada kultivar yang peka terhadap hari panjang, umbi tidak terbentuk pada suhu tanah berapa pun kecuali bila pucuk terpajan pada suhu rendah. Karena itu, daun harus mendeteksi fotoperiode maupun suhu, dan harus mengirim senyawa penginduksi umbi ke stolon. Berbagai upaya dilakukan untuk mengisolasi senyawa itu, dan baru-baru ini Yasunoni Koda dan rekan-rekannya (1980) berhasil mengisolasi bahan yang sangat aktif dan daun kentang. Bahan itu menginduksi umbi in vitro (potongan batang satu-nodus) pada konsentrasi 3 x 10-8 M, yaitu rentang konsentrasi aktif untuk auksin dan zat pengatur tumbuh lainnya. Terbukti bahwa senyawa tersebut merupakan molekul kompleks yang serupa dengan asam jasmonat.
Karena merupakan batang dalam tanah, umbi kentang memiliki sifat batang. Matanya adalah kuncup samping, dan kuncup itu tetap tidak aktif bila ada kuncup apikal. Bila kentang dipotong-potong untuk menghasilkan potongan benih, dominansi apikal akan hilang, dan kuncup samping tumbuh jika dormansi diakhiri. Terdapat alasan praktis untuk memperpanjang atau mengakhiri dormansi umbi. Semakin lama umbi dapat disimpan selama musim dingin dan musim semi dalam kondisi dorman, semakin tinggi harganya ketika dijual. Tapi, dalam sertifikat ‘benih’ kentang, diinginkan dormansi dapat diakhiri dengan segera untuk menguji adanya patogen dalam sampel umbi. Waktu yang lazim digunakan untuk mengakhiri dormansi agak lebih singkat bila umbi disimpan pada suhu sekitar 20°C daripada di suhu lebih rendah, tapi pengaruh suhu tidak tegas. Jelas tidak ada kebutuhan akan suhu rendah.
Dormansi umbi kentang dapat diakhiri dengan perlakuan kimia yang efektif dalam mengakhiri dormansi kuncup batang di atas tanah (misalnya 2-kloroetanol, giberelin, air panas, dan sebagainya). Tiourea juga dapat menumbuhkan kuncup, tapi dapat menghasilkan sebanyak delapan kuncup dan mata tunggal, bukannya satu kuncup seperti lazimnya. Dormansi juga dapat diinduksi atau diperpanjang dengan menyemprotkan zat pengatur tumbuh seperti maleat hidrazida atau kloroprofam ke daun sebelum panen atau ke umbi setelah panen. Suhu penyimpanan juga penting. Pertumbuhan kuncup umbi terjadi agak dini pada suhu tinggi, dan pda suhu rendah (sekitar 0 sampai 4°C) pati diubah menjadi gula. Jika terpaksa digunakan suhu penyimpanan tunggal, komprorni terbaik tampaknya sekitar 10°C. Namun, sarana pengolahan kentang modern dapat menyimpan umbi pada suhu yang jauh lebih rendah (sekitar 2°C), dan bila pekerja telah siap untuk memotong dan menggoreng umbi untuk membuat keripik, mereka memindahkan umbi ke tempat penyimpanan yang suhunya lebih tinggi selama beberapa hari sehingga gula diubah balik ke pati. Bila hal itu tidak dilakukan, gula akan terbakar saat digoreng, menghasilkan warna coklat tua bahkan hitam yang tidak diinginkan pada keripik kentang.

Bulbi (Umbi Lapis) Dan Subang
Hanya ada sedikit penelitian tentang induksi pembentukan bulbi, subang, dan rimpang. Namun, banyak penelitian dilakukan di Belanda yang didukung sebagian besar oleh industri bulbi negara itu. Penelitian ditujukan untuk menetapkan kondisi penyimpanan optimum (terutama suhu penyimpanan sebagai fungsi waktu) untuk pembentukan daun, bunga, dan batang pada waktu yang diinginkan dan dengan sifat yang dikehendaki. Caranya adalah dengan mengamati morfologi bulbi dengan cermat di lapang selama musim normal, dan kemudian mengulangi pengamatan itu pada bulbi yang disimpan pada suhu yang terkendali dengan tepat. Tujuannya adalah memendekkan waktu untuk berbunga, suatu proses yang dinamakan paksaan. Penelitian ini telah dimulai sejak tahun 1920an (baca Hartsema, 1961; Rees, 1972).
Ada beberapa hal yang umum: Bulbi harus mencapai ukuran kritis tertentu, yang sering memerlukan waktu dua atau tiga tahun, sebelum tanggap terhadap suhu penyimpanan dengan membentuk primordia bunga. Pada beberapa kasus (misalnya tulip), primordia daun terbentuk sebelum bunga, tapi kadang pembentukan daun dan bunga hampir bersamaan. Suhu khusus sering diperlukan untuk pertumbuhan-awal bunga atau pemanjangan batang berikutnya. Pola perubahan dan suhu optimum biasanya sesuai dengan iklim tempat asal bulbi.
Ada beberapa pola: Pada beberapa spesies, primordia bunga terbentuk sebelum bulbi dapat dipanen. Hal ini menyebabkan pembentukan bunga tidak dapat terlalu dikendalikan selama penyimpanan, sehingga kajian tentang hal ini hanya sedikit. Pada spesies lain, primordia bunga terbentuk selama periode penyimpanan setelah panen di musim panas, tapi sebelum penanaman ulang di musim gugur, sehingga pengendaliannya lebih mudah. Gambar 22.10 menunjukkan aturan suhu-penyimpanan yang di rancang untuk mempercepat pembungaan tulip tepat untuk Natal. Perhatikan bahwa suhu yang menginduksi pembungaan memang tinggi dibandingkan dengan suhu yang efektif dalam vernalisasi biji dan seluruh tanaman. Meskipun demikian, responsnya serupa.
Gambar 22.10 Perlakuan suhu untuk pembungaan awal Tulipa gesneriana W. Copeland dan Iris xiphium Imperator. Pada tulip, pertumbuhan-awal bunga mulai dan benlangsung dengan baik selama pertakuan 20°C. Pemindahan ke ruang penyimpanan pada 8 dan 9°C akan mempercepat pemekaran, sehingga bunga dihasilkan pada han Natal. Penlakuan 9°C terus menerus memberikan percepatan yang sama, tapi mutunya jelek kecuali bile mula-mula diberikan penlakuan 20°C. Bulbi ditanam di rumah kaca dan sulcu diatur di tengah-tengah periode pendinginan awal. Mula-mula suhu ditingkatkan saat pucuk daun mulai terlihat, kemudian saat panjangnya 3 cm, dan terakhir saat panjangnya 6 cm. Pada iris, periode singkat suhu tinggi amat penting ntuk pembungaan, walaupun pertumbuhan-awal nyata primordia buniga tidak terjadi sampai bulbi djpindahkan dan suhu rendah ke 15°C, saat pan jang kuncup sekitar 6 cm. Penlakuan 9°C ni untuk menjamin percepatan. Pada’suhu jauh di atas 15°C selama bagian akhir dan perlakuan, kadang dihasilkai, bunga abnormal. Tingkat cahaya rendah akan fnényebabkan bunga ‘mekar’ pada saat itu, khususnya jika suhu tidak tinggi. Jika suhu yang sangat tinggi (389C) digunakan selama periode awal induksi bunga, organ bunga ditingkatkan atau diturunkan, atau dihasilkan bunga dengan mahkota bunga empat, lima, atau dua. (Data dan Annie M Hartsema, 1961; gambar dan Salisbury, 1963)
Pada kebanyakan bunga iris berbulbi (gambar 22.10), primordia bunga yang sesungguhnya akan tampak selama suhu rendah musim dingin (9 sampi 13°C), tapi praperlakuan suhu tinggi (20 sampai 30°C) penting jika pembentukan bunga harus betul-betul terjadi. Hal ini merupakan contoh sesungguhnya dan induksi yang serupa dengan vernalisasi, tapi responsnya terhadap suhu tinggi, bukan terhadap suhu rendah. Pada setiap contoh, tumbuhan diadaptasi sehingga pembungaan, pertumbuhan vegetatif, dan dormansinya sesuai sekali dengan perubahan musiman dari suhu.
Jerry M Baskin dan Carol C Baskin (1990) mengkaji tumbuhan kecil, Pediomelum subacaule, yang tumbuh di rumpang cedar dijennessee, Georgia, dan Alabama. Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan tahunan yang muncul pada awal musim semi, berbunga, dan menjadi dorman pada akhir Juni dan awal Juli. Pada waktu itu pucuk dan akar penghisapnya mati, meninggalkan kuncup pucuk kecil di ujung akar penyimpan berumbi, sekitar 5 cm di bawah permukaan tanah. Tumbuhan tadi tidak tumbuh di musim panas yang kering. Pemanjangan kuncup berlangsung pada musim gugur dan akhir musim dingin, tapi tidak pada masa terdingin di pertengahan musim dingin (gambar 22.11a).
Gambar 22.11 (a) Pan jang kuncup Pediomelum subacaule sepanjang tahun, dibandingkan pada sithu maksimum dan minimum. Tanaman ditumbuhkan pada vermikulit lembap di rumah kaca terbuka dan tanpa pengaturan suhu. (b) Panjang kuncup Pediomelum, juga di vermikulit lembap, ditumbuhkan pada suhu siang/mIam yang diatur sesuai dengan angka pada gambar. Kurva bertanda terusan’ diberi perlakuan suhu buatan sesuai dengan musim di lapang. Perhatikan bahwa tanaman pada suhu sedang (khususnya 15/6°C dan 20/10°C) tumbuh selama percobaan berlangsung, sedangkan tanaman pada suhu lebih panas tidak pernah tumbuh lebih cepat; tanaman pada suhu 5°C gagal untuk tumbuh pada awalnya, tapi tumbuh cepat setelah 24 minggu. (Dan Baskin dan Baskin, 1991, dengan izin)
Kedua peneliti tersebut membenamkan akar dorman sedalam 5 cm di bawah permukaan vermikulit lembap, dengan beberapa kombinasi suhu siang dan malam, seperti tercantum pada gambar 22.11b. Seperangkat suhu (‘terusan’ pada gambar 22.11b) menyerupai suhu lapang. Pemanjangan pucuk, yang diukur tiap selang waktu dengan mengangkat sebentar tumbuhan dan vermikulit, berlangsung sangat lambat pada suhu tertinggi, sedangkan pada suhu menengah (sejuk) pemanjangan pucuk terus berlangsung sepanjang tahun. Tumbuhan yang berada pada suhu terendah (5°C) tidak tumbuh selama 20 minggu, tapi akhirnya tumbuh dengan sangat cepat. Tumbuhan yang diberi perlakuan serupa dengan suhu lapang akan tumbuh secepat tumbuhan di lapang. Hasil ini menunjukkan bahwa tumbuhan itu tidak pernah betul-betul dorman, tapi hanya kuisen sebab tumbuhan itu akan tumbuh kapan saja jika suhu dan kelembapan sudah sesuai. Namun, suhu optimum untuk pertumbuhan menurun dengan berjalannya waktu, sehingga pertumbuhan yang cepat biasanya berlangsung pada musim gugur dan akhir musim dingin. Perubahan fisiologis yang mengendalikan respons tumbuhan terhadap suhu menjamin tumbuhan muncul ke permukaan tanah pada awal musim semi ketika kelembapan tanah sudah cukup, kemudian menjadi dorman pada musim kering, dan mengulangi urutan itu pada tahun berikutnya. Tampaknya kuisen disebabkan oleh kekeringan (datang lebih lambat pada tahun yang basah), bukannya oleh panjang hari, seperti yang terjadi pada Anemone coronaria (Kadman-Zahavi dkk, 1984).

22.8 TERMOPERIODISME
Bahasan tentang suhu sejauh ini kebanyakan berkisar pada daur suhu tahunan. Tapi, Frits Went (1957) menjelaskan tentang termoperiodisme, suatu fenomena yang menunjukkan bahwa pertumbuhan dan/atau perkembangan ditingkatkan oleh suhu siang dan malam yang bergantian. Kita perhatikan bahwa umbi kentang terbentuk sebagai respons terhadap suhu malam yang rendah;
pembentukan buah tomat juga ditingkatkan oleh suhu malam yang rendah. Pemanjangan batang dan pertumbuhan-awal bunga juga merupakan respons termoperiodik pada beberapa spesies. Bukti awal dari konsep termoperiodisme adalah bahwa produktivitas tanaman lebih tinggi pada lingkungan termoperiodik. Bagi spesies tertentu, termasuk kultivar tomat tertentu, hal itu berlaku, tapi perubahan suhu siang dan malam tidak penting bagi pertumbuhan optimum berbagai spesies lainnya. Pada suhu konstan optimum, tanaman bit gula, gandum, jelai, buncis, dan kapri tumbuh sama baiknya pada suhu siang dan malam yang beragam. Peneliti harus hati-hati dalam memperbandingkan berbagai kisaran termoperiodik dengan suhu konstan optimum, bukan dengan suhu lain (Friend dan Helson, 1976).
Beberapa tanaman tumbuh lebih baik bila lingkungannya berfluktuasi dalam daur 24-jam, mungkin bertepatan dengan fase jam sirkadiannya. Jadi, beberapa spesies tumbuh dengan lambat bila cahaya dan suhu konstan. Mengubah-ubah suhu dalam daur 24-jam dapat mencegah atau menghambat kerusakan tanaman tomat yang disebabkan cahaya dan suhu yang tetap terus-menerus, jika intensitas cahaya cukup tinggi. Memang banyak respons termoperiodik berinteraksi dengan lingkungan cahaya, lazimnya melalui fotoperiodisme dan kemungkinan melalui kesetimbangan dalam sistem fitokrom.
Salah satu contoh termoperiodisme yang menakjubkan dilaporkan oleh Went (1957), terjadi pada Laothenia charysostorna (dulu genus Baeria), tumbuhan Corn positae semusim kecil yang lazim terlihat selama musim semi di lembah gunung dan kaki bukit serta kadang di bagian barat Gurun Mojave di California. Tanaman ini sangat peka terhadap suhu malam. Pada percobaan Went, tanaman ini ditumbuhkan pada kondisi hari-pendek, dan tanaman bertahan hidup hanya dua bulan bila suhu malam 20°C. Pada suhu lebih rendah, tanaman itu tumbuh paling tidak selama 100 hari. Tanaman segera mati pada suhu malam 26°C. Banyak spesies tidak tumbuh baik pada suhu malam setinggi itu, tapi bagaimana menjelaskan kematian pada suhu tersebut? Tanaman Laothenia tumbuh dengan subur bila suhu siang di atas 26°C, tapi suhu malam harus cukup rendah. Went melaporkan bahwa tumbuhan lain asli California bertindak serupa pada percobaannya.
Seperti dikemukaan sebelumnya, mungkin jaringan yang berbeda dalam tanaman yang sama mempunyai suhu utama yang berbeda. Agar pertumbuhan dan perkembangan seluruh tumbuhan berlangsung dengan baik, rentang suhu selama siang seyogianya mencakup suhu sekitar-optimum untuk pertumbuhan semua jaringan. Lazimnya, suhu tanah berbeda dengan suhu udara, sehingga tumbuhan mungkin mempunyai suhu utama yang berlainan untuk akar dan pucuk. Dengan mempertahankan akar dan pucuk pada suhu yang sama, pertumbuhan dan perkembangan optimum mungkin tak tercapai.

22.9 MEKANISME RESPONS SUHU-RENDAH
Bagimana kita dapat memahami respons positif tumbuhan terhadap suhu rendah? Kita mungkin berhadapan dengan semacam halangan bersifat hormon atau metabolik. Halangan seperti itu dapat berupa zat penghambat kimia atau kurangnya beberapa bahan yang diperlukan di dalam tumbuhan, atau keduanya. Pada suhu rendah zat penghambat dapat hilang, atau zat pengatur tumbuh muncul yang akan mempengaruhi pembungaan, perkecambahan, pertumbuhan kecambah selanjutnya, dan sebagainya. Giberelin dan ABA sering tampak berperan. Apakah mekanisme yang sama berlaku pada beberapa respons yang telah dijelaskan? Tentu saja sangat beragam sehingga kita tidak dapat mengharapkan adanya mekanisme umum, meskipun ada beberapa yang sangat bermiripan.
Ingatkah anda pada paradoks yang dikenalkan pada awal bab ini? Jika suhu rendah menurunkan laju reaksi kimia, bagaimana kita dapat menerangkan adanya peningkatan produksi beberapa pemacu tumbuh atau peningkatan perombakan zat penghambat pada suhu rendah dibandingkan dengan pada suhu tinggi? Pada tahun 1940an, Meichers dan Lang serta Purvis dan Gregory secara bersamaan, tapi berdasarkan penelitian yang berlainan, mengusulkan suatu model (gambar 22.1) yang tidak berbeda dengan model pada gambar 22.3. Terdapat dua reaksi interaksi hipotetik, yaitu pertama (I) dengan koefisien suhu (Q10) agak rendah, yang lain (II) dengan Q10 lebih tinggi. Produk reaksi I masuk ke reaksi II. Jika laju reaksi I melebihi laju reaksi II, maka produk (B) dan reaksi I akan menumpuk; jika sebaliknya yang terjadi, produk (c) reaksi II yang akan menumpuk. Bahkan jika Q10 reaksi I memang rendah, tapi kemajuan reaksi pada suhu rendah lebih cepat daripada reaksi II, maka kita dapat menerangkan mengapa terjadi penumpukan B pada suhu rendah. Dengan meningkatnya suhu, laju reaksi II meningkat jauh lebih cepat daripada laju reaksi 1, sehingga pada suatu suhu kritis, B akan digunakan secepat dia diproduksi; jadi, tidak ada penumpukan. Reaksi II mengalami devernalisasi, dan karena devernalisasi gagal setelah dua atau tiga hari pada suhu netral, mungkin terjadi reaksi ketiga (III) yang mengubah B menjadi D, suatu produk akhir yang stabil. Tentu saja model itu merupakan perkiraan sederhana karena banyak faktor lain yang dapat berperan: sintesis enzim, kerja enzim, perubahan permeabilitas membran, perubahan fase, pengangkutan hara, dan sebagainya. Selama setengah abad tak seorang pun yang betul-betul menemukan mekanisme seperti itu dalam organisme, walaupun prinsip tersebut masuk akal dan mungkin memang begitu adanya.

Gambar 22.12 Kurva contoh yang menunjukkan laju reaksi hipotetik sebagai fungsi suhu untuk reaksi dengan nilai Q10 sebesar 1,5 atau 4,0. Jika reaksi dengan Q10 = 1,5 dinyatakan sebagai reaksi I yang teilihat dalam Iingkaran (dibahas pada nas) dan jika reaksi dengan Q10 = 4,0 dinyatakan sebagai reaksi II, maka produk hipotetik B akan sebanding dengan selisih kurva II dan kurva I (ditunjukkan oleh kurva B). Bandingkan bentuk kurva B dengan kurva pada gambar 22.1, 22.3, dan 22.7. (Dan Salisbury, 1963)
Sistem umpan-balik terkompensasi  yang dibahas dalam hubungannya dengan ketaktergantungan suhu pada jam biologi (pasal 21.6) dapat memberikan suatu reaksi dengan koefisien suhu negatif. Produk suatu reaksi dapat menghambat laju reaksi lainnya. Atau, pada suhu rendah, suatu senyawa mungkin menumpuk karena bahan lain yang menghambat produksinya tidak tersedia. Juga, mungkin dibutuhkan koefisien-suhu yang - berbeda. Karena giberelin meningkat pada beberapa biji dan kuncup dengan berakhirnya dormansi, giberelin mungkin serupa dengan B atau D pada gambar 22.12., Atau giberelin mungkin bocor keluar dari wadah penyimpanan bila membran menjadi jauh lebih permeabel pada suhu rendah (Arias dkk,, 1976). Pada beberapa spesies, sitokinin atau etilen dapat berperan seperti giberelin.
Bagaimana bila kita menghadapi penghancuran penghambat pada suhu rendah, bukannya sintesis pemacu? Kita hanya harus membalik peranan kedua reaksi hipotetik pada model itu. Reaksi penghancuran (atau pengubahan) mestinya mempunyai laju yang cukup cepat pada suhu rendah dan Q10 yang rendah. Sebaliknya, sintesis penghambat harus berjalan lambat pada suhu rendah, tapi harus mempunyai Q10 yang tinggi.

BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Salisbury, Frank B. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar