BAB I
PENDAHULUAN
Suhu merupakan faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada umumnya, tumbuhan membutuhkan suhu tertentu untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik, yang disebut dengan suhu optimum. Suhu paling rendah
yang masih memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh disebut suhu minimum, sedang suhu
paling tinggi yang masih memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh disebut suhu
maksimum.
Pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi suhu-
kelemahan yang sudah lama diketahui. Sering perubahan beberapa derajat saja
sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju pertumbuhan. Pada tahap tertentu dalam
daur hidupnya dan pada kondisi kajian tertentu, tiap spesies atau varietas
mempunyai suhu minimun (rentang) suhu optimum, dan suhu rnaksimum. Di bawah
suhu minimum mi tumbuhan tak akan tumbuh; pada rentang suhu optimun, laju
tumbuhnya paling tinggi; dan di atas suhu maksimum, tumbuhan tidak tumbuh dan
bahkan mati. Suhu berperan
langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju
proses-proses kimia dalam tubuh tumbuhan tersebut, sedang peran tidak langsung
yaitu mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air.
BAB
II
PEMBAHASAN
RESPONS PERTUMBUHAN
TERHADAP SUHU
Pertumbuhan tumbuhan
sangat dipengaruhi suhu- kelemahan yang sudah lama diketahui. Sering perubahan
beberapa derajat saja sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju
pertumbuhan. Pada tahap tertentu dalam daur hidupnya dan pada kondisi kajian
tertentu, tiap spesies atau varietas mempunyai suhu minimun (rentang) suhu
optimum, dan suhu maksimum. Di bawah suhu minimum ini tumbuhan tak akan tumbuh;
pada rentang suhu optimun, laju tumbuhnya paling tinggi; dan di atas suhu
maksimum, tumbuhan tidak tumbuh dan bahkan mati. Gambar 22.1 memperlihatkan
kurva laju tumbuh sebagai fungsi suhu. Pertumbuhan berbagai spesies Iazimnya
menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan alaminya. Spesies alpin dan spesies
kutub utara mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum yang rendah; spesies tropika mempunyai suhu
utama yang jauh lebih tinggi. Tumbuhan yang tumbuh mendekati suhu minimum atau
maksimumnya akan sering mengalami cekaman yang dibahas pada bab 26.

Sering jaringan yang berbeda dalam
tumbuhan yang sama mempunyai suhu utama yang berlainan. Contoh klasik yang
mudah ditunjukkan adalah perbedaan suhu pertumbuhan optimum untuk permukaan
atas dan bawah tepal tulip atau bunga crocus
(tepal adalah akronim untuk petal [daun bunga] dan sepal [daun kelopak] yang
tampak serupa, khususnya pada anggota famili Liliaceae). Kajian di Jerman,
sejak penelitian Julius von Sachs tahun 1863, telah menunjukkan bahwa suhu
rendah (3 sampai 7°C) paling baik untuk pertumbuhan permukaan bawah jaringan
Suhu tersebut menyebabkan tulip atau bunga crocus
menutup, sedangkan suhu lebih tinggi (10 sampai 17°C) paling baik bagi
pertumbuhan permukaan atas jaringan tepal, menyebabkan bunga membuka (gambar
22.2). Perubahan suhu mendadak sekecil 0,2 sampai 1°C pun sering menyebabkan
pcrtumbuhan yang cepat serta terjadinya pembukaan
dan penutupan bunga crocus dan tulip,
walaupun suhu pertumbuhan optimum untuk kedua sisi tepal itu berbeda sekitar
10°C. Gerak tepal yang diakibatkan suhu ini (gerak nastik, bab-19), yang
disebabkan oleh pertumbuhan, disebut termonati.

Namun, suhu tidak hanya
mepengaruhi pertumbuhan jaringan. Sering selang suhu tertentu mengawali tahap
kritis pada daur hidup tumbuhan:
perkecambahan biji, awal pembungaan, dan induksi atau berakhirnya dormansi pada
tumbuhan tahunan. Respons perkembangan itu sering dipengaruhi oleh faktor
lingkungan selain suhu, antara lain tingkat cahaya, lama cahaya, dan kelembapan.
Interaksi ini beragam dan rumiit, sehingga topik dalam bab ini kadang agak
menyimpang dan tema utama, yaitu respons tumbuhan terhadap suhu, khususnya suhu
rendah.
22.1
DILEMA SUHU-ENZIM
Pada waktu
memperkirakan respons pertumbuhan terhadap suhu, sering kita mendalilkan berlangsungnya
reaksi enzim yang dipengaruhi oleh dua faktor berlawanan: Kenaikan suhu
meningkatkan energi kinetik molekul yang bereaksi, dan ini meningkatkan laju
reaksi; tapi, kenaikan suhu juga meningkatkan laju denaturasi enzim. Selisih
antara kurva reaksi dan kurva perombakan menghasilkan kurva tak-setangkup
(gambar 22.3) yang mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum (suh utama)
sendiri. Kurva tersebut berlaku untuk respirasi, fotosintesis, dan berbagai
respons tumbuhan lainnya, di samping pertumbuhan.

Ketika membahas nilai Q10
pada pasal 2.3, telah kita lihat bahwa kenaikan suhu yang sama kecilnya
menyebabkan laju berbagai reaksi kimia meningkat beberapa kali laju pada suhu yang
lebih rendah. Jadi, jika Q10 = Z maka laju reaksi kurang lebih
berlipat dua untuk tiap kenaikan suhu 10°C. Dan data beberapa reaksi yang
mengikuti kaidah ini, Svante Arrhenius (ahli kimia berbangsa Swedia, 1859—1927,
pemenang Hadiah Nobel tahun 1903 bidang kimia) mendapatkan hubungan berikut ini
pada tahun 1889, yang dinamakan persamaan Arrhenius:

dengan k1 dan k2 adalah laju reaksi pada
suhu T1 dan T2, serta A adalah konstanta. Dan persamaan itu, Arrhenius
mendapatkan suatu persamaan yang agak Iebih rumit, dengan bentuk sebagai
berikut (baca buku ajar kimia fisika untuk persamaan yang lebih rinci

dengan log k adalah logaritme laju
reaksi, T adalah suhu mutlak kelvin, dan a dan b merupakan konstanta. Persamaan
itu merupakan garis lurus bila log k dirajah sebagai fungsi kebalikan suhu
kelvin (1/7) pada bagan Arrhenius. Persamaan mi telah diterapkan pada banyak
sekali proses fisiologi atau reaksi enzimatik, seperti pada contoh gambar 22.4.
Kemiringan garis ditunjukkan oleh konstanta b, dan memang mungkin mendapatkan
energi kerja (Ea) dan kemiringan itu.

Gambar 22.3 Aktivitas enzim dan suhu. I.
Laju reaksi dengan Q10 = 2, khas untuk berbagai reaksi kimia,
termasuk yang (pada suhu rendah) dikendalikan oleh enzim. II. Reaksi dengan Q10
= 6, khas untuk denaturasi protein. IlI Kurva perkiraan yang merupakan selisih antara kurva untuk laju reaksi yang dikendalikan oleh enzim (I)
den kurva denaturasi enzim (II). Kurva ini khas untuk respons reaksi yng
dikendalikan oleh enzim terhadap rentang suhu yang’1mum untuk reaksi itu.
Energi kerja adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses
yang sedang diukur.

Gambar 22.4 Bagan Arrhenius sebagal cara
untuk menganalisis efek suhu terhadap berbagai proses, termasuk reaksi
metabolik, reaksi Iainnya, perkecambahan, atau respons tumbuhan atau hewan. (a)
Bagan Arrhenius sederhana mengenai respirasi akar Ranunculus (R), Carex (C),
Dupontia (D), dan Eriophorum (E). Angka pada kurva menunjukkan energi kerja
yang nyata dalam kJmor-1. Pada bagan itu, kordirnat merupakan
logaritma respons (dalam hal ini adalah respirasi), dan absis merupakan
kebalikan dan suhu mutlak. (Suhu dalam derajat Celsius juga dipertihatkan:
perhatikan bahwa pada bagan kebalikan ini, suhu rendah terlihat di sebelah
kanan, bukan sebelah kin). (Dan Eamshaw, 1981, dengan izin). (b) Pengaruh suhu
perkecambahan terhadap massa basah sumbu kecambah dan dua kultivar kedelai.
(Garis tegak menunjukkan simpangan baku). (c) Bagan Arrhenius dan data pada b.
Perubahan D,
dalam massa basah per hari (laju tumbuh) dipenlihatkan pada c. (Dan Henspn dkk,
1980, dengan izin)
Untuk proses yang berlangsung
dalam oganisme, bagan Arrhenius umumnya merupakan garis lurus dalam rentang
suhu yang memungkinkan suatu organisme untuk hidup selama jangka waktu agak
lama. Setiap belokan, patahan, atau perubahan dalam bagan Arrhenius menunjukkan
perubahan kepekaan proses yang sedang diukur terhadap suhu. Penurunan yang
tajam memperlihatkan denaturasi protein yang terjadi di batas atas suhu pada
bagan, dan sebuah ketidaksambungan (patahan) atau infleksi (perubahan kemiringan)
dapat terjadi di batas suhu bawah pada bagan. Infleksi atau patahan seperti itu
dalam bagan Arrhenius menunjukkan bahwa proses yang sedang dikaji peka terhadap
suhu rendah. Peningkatan kemiringan bagan di bawah suhu infleksi menunjukkan
bahwa energi keria (Ea) telah meningkat dan menjadi lebih terbatas pada
kecepatan maksimum (Vmaks, laju maksimum proses pada kondisi tertentu) dibandingkan
dengan pada suhu di atas suhu infleksi. Keadaanini umum ditemui dalam proses
fisiologi dan reaksi enzimatik tumbuhan yang peka terhadap suhu rendah (baca
pasal 26.5). Bagan Arrhenius dan kultivar yang berbeda dalam spesies yang sama dapat
sangat berlainan untuk proses yang sama,
misalnya pertumbuhan setelah perkecambahan seperti yang dirajah pada gambar 22.4b.
Setelah kita mengenal
adanya respons positif bila suhu meningkat dan minimum ke optimum, sangatlah
mengejutkan untuk mengetahui bahwa beberapa proses tertentu ternyata meningkat
bila suhu menurun mendekati titik beku. Pada vernalisasi, pemajanan tumbuhan tertentu pada suhu rendah selama
beberapa minggu menyebabkan tumbuhan mampu berbunga, biasanya setelah
dikembalikan ke suhu normal. Suhu rendah pada musim gugur sering menyebabkan
atau membantu berlangsungnya dormansi pada banyak biji, tunas, atau organ bawah
tanah. Suhu rendah pada musim semi dapat membantu berakhirnya dormansi pada
organ yang sama. Paradoks yang menarik tentang respons terhadap suhu rendah
adalah bahwa suhu rendah mula-mula menyebabkan dormansi dalam tumbuhan, tapi
suhu rendah yang berkelanjutan akan mengakhiri dorman. Bila kita terlalu cepat
menyimpulkan bahi dormansi adalah pelambatan negatif sederhana dan proses
tumbuhan pada suhu yang menurun, maka kita tentulah harus memandang berakhirnya
dormansi dalam pengertian positif yang berlawanan. Ini merupakan dilema yang menarik
tentang respons terhadap suhu-rendah.
Akan dibahas lima
respons positif yang berbeda terbadap suhu rendah. Yang pertama, vernalisasi,
telah banyak dikaji, sehingga merupakan topik awal yang baik. Yang kedua; juga telah dipelajari dengan mendalam,
adalah berakhirnya dormansi biji dengan memajankan biji lembap pada suhu
rendah. Perlakuan ini sering dinyatakan sebagai stratifikasi, tapi istilah
prechilling (perlakuan awal suhu rendah) saat ini lebih populer karena Iebih
jeIas. Kita akan lebih banyak berbincang tentang dominansi biji dan
perkecambahan daripada tentang respons biji terhadap suhu. Proses ketiga sangat
berkaitan: berakhirnya dormansi musim dingin pada tunas tumbuhan berkayu tahunan.
Proses keempat kurang dikaji: pengaruh suhu-rendah pada perkembangan organ
penyimpan bawah tanah, seperti umbi, subang, dan bulbi. Proses kelima juga
kurang dikaji: pengaruh suhu rendah terhadap pembentukan dan pertumbuhan
vegetatif tumbuhan tertentu.
Pada setiap proses itu,
yang terutama kita perhatikan adalah efek penundaan (kadang disebut efek induktif)
pada beberapa proses perkembangan tanaman. Efek seperti itu, yaitu, responsnya
baru terIihat beberapa waktu setelah berakhirnya stimulus, juga dijumpai pada
respons terhadap faktor lingkungan lain, seperti panjang hari (fotoperiodisme). Pada kenyataannya efek
suhu-rendah dan panjang-hari sering saling berhubungan dalam kelima respons
tersebut. Akhirnya, respons terhadap suhu-rendah dapat mempengaruhi kerja gen
khusus, yaitu pergantian program morfogenetik akibat suhu rendah. Dapatkah gen
itu menanggapi suhu rendah secara langsung? Jika tidak, bagian apa dalam sel
yang sebetulnya tanggap, meneruskan isyarat suhu-rendah menjadi perubahan
fisiologi? Apakah transduser (sensor) terletak di sitoplasma atau di inti sel,
tempat program itu diatur-ulang? Atau di sel lain? Hanya ada sedikit jawaban
untuk semua pertanyaan tersebut, tapi berbagai jawaban itu dapat menjadi
panduan untuk penelitian lebih lanjut.
22.2
VERNALISASI
Proses vernalisasi
(bukan istilahnya) dijelaskan pada sedikitnya 11 terbitan di Amerika Serikat selama
pertengahan abad 19 dan awal abad 20 (misalnya, di New American Farm Book tahun 1849), tapi vernalisasi benar-benar
diabaikan oleh ilmu ‘mapan’, dan baru mendapat perhatian pada tahun 1910 dan
1918, ketika J Gustav Gassner (baca makalahnya tahun 1918) di Jerman
menguraikan vernalisasi tumbuhan bebijian. Banyak kajian awal tentang perkembangan
tumbuhan berlangsung di Eropa; Amerika Serikat dan Kanada tampaknya tengah
sibuk menaklukkan daerah perbatasan.
Pada tahun 1920an,
istilah vernalisasi diciptakan oleh
Trofim Denisovich Lysenko, yang oleh perintah Stalin diizinkan memegang kendali
politik mutlak terhadap ilmu genetika di Soviet. Dalam proses itu ia
mengharuskan ahli genetika berbangsa Soviet menerima dogma tentang pewarisan
sifat yang diperoleh (baca Caspari dan Marshak, 1965). Vernalisasi, dan kata
Latin, diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘pemusim-semian’, menunjukkan
bahwa kultivar musim dingin diubah menjadi kultivar musim semi atau kultivar
musim panas oleh perlakuan suhu rendah. Sekarang kita tahu, walaupun Lysenko
saat itu tidak menyadari, bahwa susuan genetik tidak berubah oleh perlakuan
suhu rendah. Kondisi dingin yang dibuat oleh peneliti hanyalah untuk
menggantikan suhu rendah alami musim dingin, seperti untuk tanaman bebijian
musim dingin yang ditanam pada musim gugur, misalnya gandum atau beras belanda.
Istilah vernalisasi
telah digunakan secara luas dengan pengertian yang salah. Semua respons
tumbuhan terhadap suhu rendah kadang dinyatakan sebagai vernalisasi, termasuk
juga peningkatan pembungaan akibat perlakuan apa aja (bahkan akibat panjang
hari). Kita akan membatasi istilah vernalisasi sebagai peningkatan pembungaan
oleh suhu rendah.
Jenis
respons
Terdapat banyak respons
vernalisasi, yang tidak hanya bergantung pada spesies, tapi sering bergantung
pada varietas dan kultivar dalam spesies yang sama. Dalam pengelompokan jenis
respons, terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kita harus
membedakan respons tertunda dengan tak-tertunda. Sebagian besar tumbuhan yang
telah dikaji memberikan respons setelah suatu penundaan, walaupun beberapa di antaranya
(contohnya, kubis brussel) membentuk bunga saat berlangsungnya perlakuan suhu
rendah itu sendiri.
Cara yang tepat
untuk mengelompokkan jenis respons adalah menurut umur saat tumbuhan peka
terhadap suhu rendah. Tanaman setahun musim dingin. khususnya rumput bebijian,
dikaji selama tahun 1930an dan 1940an, khususnya di Uni Soviet dan oleh
FrederickG Gregory dan O Nora Purvis (baca Purvis, 1961) Imperial College di
London. Respons tumbuhan terhadap suhu rendah telah ada semenjak fase bibit,
bahkan fase biji, asal saja cukup tersedia oksigen dan kelembapan. Benih beras
belanda (Secale cereale) Petkus umumnya ditanam pada musim dingin, pada waktu
benih biasanya berkecambah, dan melewati musim dingin sebagai bibit kecil.
Atau, benih lembab dapat diberi perlakuan suhu rendah dalam ruang dingin selama
beberapa minggu. Tanaman akan berbunga pada suhu normal sekitar tujuh minggu
setelah pentumbuha dimulai di musim semi. Tanpa perlakuán suhu rendah
diperlukan 14 sampai 18 minggu untuk membentuk bunga, walaupun akhirnya bunga
mekar juga. Karena kebutuhan akan suhu rendah bersifat kuantitatif atau
fakultatif (suhu rendah menyebabkan pembungaan lebih cepat), tapi bukan
bersifat kualitatif atau mutlak (pembungaan bergantung sepenuhnya pada suhu
rendah), maka kita mempunyai dasar lain untuk klasifikasi. Sebagian besar
tumbuhan-setahun musim dingin menunjukkan respons yang tertunda atau bersifat
kuantitatif, walaupun ada juga (misalnya-gandum Lancer) yang benar-benar
membutuhkan suhu rendah.
Terdapat dua masalah
menarik pada beras belanda Petkus. Perlakuan hari-pendek dapat menggantikan
suhu rendah dalam batas tertentu dan pembungaan tanaman yang divernalisasi
sebelumnya, ditingkatkan secara nyata oleh hari-panjang. Semua tumbuhan-setahun
musim dingin, sejauh yang sudah dikaji, meningkat akibat suhu rendah, tapi juga
akibat hari panjang di akhir musim semi dan awal musim panas berikutnya.
Tumbuhan dwi-tahun
hidup dalam dua musim pertumbuhan, kemudian berbunga dan mati (pasal 16.2).
Contohnya meliputi beberapa kultivar bit gula, kubis, wortel, dan seledri.
Tumbuhan ini berkecambah di musim semi, nembentuk tumbuhan vegetatif yang
Iazimnya berbentuk roset (gambar 22.5, kanan bawah). Daunnya sering mengering
pada musim gugur, tapi kematiannya pada dasar melindungi mahkota dengan
meristem apikalnya. Dengan datangnya musim semi kedua, daun baru terbentuk, dan
terjadi pemanjangan pucuk bunga dengan cepat: proses ini dinamakan bolting.
Pemajanan pada suhu rendah musim dingin antara dua musim pertumbuhan
menyebabkan pembungaan. Sebagian besar tumbuhan dwi-tahun harus mengalami suhu
sedikit di atas titik beku selama beberapa hari sampai beberapa minggu untuk pembungaan berikutnya;
tumbuhan itu mutlak perlu suhu rendah, berlawanan dengan tumbuhan setahun musim
dingin fakultatif. Tanaman bit gula dapat dipertahankan tetap vegetatif selama
beberapa tahun dengan tidak memajankannya pada suhu rendah (gambar22.6).
Pembungaan tumbuhan dwi-tahun juga meningkat dengan dialaminya hari panjang
setelah suhu rendah, dan beberapa di antaranya mutlak memerlukan perlakuan ini
(contohnya, Hyoscyamus niger, gambar 22.5). Tumbuhan dwi-tahun lainnya
memerlukan hari netral setelah vernalisasi.

Gambar 22.5 Respons
pembüngaan Hyoscyamus niger, spesies yang lazim berbentuk roset, terhadap
penyimpanan pada suhu tinggi atau rendah diikuti dengan perlakuan hari-panjang
atau hari-pendek. Hanya suhu rendah yang diikuti hari-panjang yang menyebabkan pembungaan.
Banyak spesies tumbuhan
yang memerlukan suhu rendah tidak begitu saja termasuk kategori tumbuhan
setahun musim dingin atau tumbuhan dwi-tahun. Sebagai contoh, perbungaan
beberapa rumput tahunan ditingkatkan oleh suhu rendah. Beberapa di antaranya,
kemudian, memerlukan hari-pendek untuk pembungaan. Krisan merupakan tanaman
tahunan hari pendek yang telah banyak dikaji karena respons fotopeniodismenya.
Kebutuhan akan suhu rendah ini, yang harus diperoleh sekali sebelum dapat memberikan
respons terhadap hari pendek, telah diabaikan karena tanaman diperbanyak secara
vegetatif, dan steknya membawa pergi efek vernalisasi. Beberapa tumbuhan
berkayu tahunan mempunyai kebutuhan akan suhu rendah untuk pembungaannya
(Chouard, 1960), dan beberapa sayuran kebun setahun akan berbunga agak Iebih
awal pada musim itu jika terpajan pada perlakuan vernalisasi singkat (Thompson,
1953).
Sebagai rangkuman:
Berbagai spesies dibuat berbunga oleh beberapa kali perlakuan suhu rendah. Pada
beberapa tumbuhan terdapat respons kuantitatif, dan pada beberapa tanaman
lainnya terdapat respons kualitatif. Pembungaan pada banyak spesies juga
memerlukan atau ditingkatkan oleh panjang hari yang sesuai. Respons terhadap
lingkungan itu mempersiapkan tanaman untuk daur iklim setahun. Kita tidak berurusan dengan
waktu endogenous seperti pada bab sebelumnya, tapi dengan sistem yang kompleks;
pada sistem ini, tumbuhan memberikan respons terhadap satu musim dengan
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi musim berikutnya.
Lokasi
respons suhu-rendah
Adalah tunas, mungkin
meristem, yang lazimnya memberikan respons terhadap suhu rendah dengan cara mengalami
vernalisasi. Hanya jika tunas diberi suhu rendahlah, tumbuhan akan berbunga.
Embrio atau bahkan meristem yang diisolasi dari biji beras belanda juga
mengalami vernalisasi. Dengan cara lain, berbagai bagian tanaman yang mengalami
vernalisasi dienten ke
tanaman yang tak mengalami vernalisasi. Jika meristem yang mengalami
ditranspalantasikan, tanaman itu akhirnya akan berbunga. Tetapi, jika meristem
tanaman yang tidak mengalami vernalisasi dienten ketanaman yang mengalami vernalisasi setelah meristem yang
mengalami vernalisasi dibuang, maka pertumbuhan meristem yang dienten tetap vegetatif.
SJ
Wellensiek (1964) di Belanda menyatakan bahwa vernalisasi memerlukan sel yang
terbelah. Beberapa kajian mendukung kesimpulannya, walaupun ada biji yang
memberikan respons pada suhu beberapa derajat dibawah titik beku, saat tidak
terjadi pembelahan sel dan pengamatan dengan mikroskop tidak berhasil
menunjukkan hal itu. Bila pembelahan sel atau replikasi DNA pada sel tak terbelah itu memang perlu, maka
hal tersebut merupakan temuan yang berarti. DNA harus mengalami replikasi
sebelum terjadi diferensiasi sel, mungkin bila hanya DNA dipisahkan sementara
dari protein kromosom, maka pengaktifan atau penonaktifan gen dapat
berlangsung.
Percobaan
Fisiologi
Ada satu penelitian
fisiologi vernalisasi yang menentukan suhu optimum bagi prose situ. Laju
maksimum vernalisasi terjadi pada rentang suhu yang cukup lebar (bergantung
pada spesies), dan vernalisasi bahkan berlangsung pada beberapa derajat dibawah
titik beku. Biasanya batas bawah ditentukan oleh pembentukan Kristal es didalam
jaringan. Lazimnya terdapat rentang suhu optimum yang lebar (sekitar 0 sampai
10°
C) dan beberapa efek telah teramati pada sushu sampai setinggi 18 sampai 22°
C. jenis lain kajian fisiologi adalah menentukan waktu vernalisasi yang paling
efektif. Panjang minimum untuk berbagai efek yang teramati beragam dari 4 hari
sampai 8 minggu. Bergantung pada spesies. Waktu jenuh beragam antara 3 minggu
untuk gandum musim dingin sampai 3 bulan untuk henbane.
Jika setelah perlakuan
vernalisasi tanaman akan segera terpajan pada suhu tinggi, tanaman itu sering
tidak berbunga. Kebalikan ini disebut sebagai devernalisasi. Supaya efektif,
suhu devernalisasi harus sekitar 30°C atau lebih
untuk beras belanda musim dingin, dan diberikan selama beberapa hari dan dalam
waktu 4 atau 5 hari setelah suhu rendah (agak lebih lama pada spesies lain).
Kenyataannya beberapa vernalisasi dapat diamati bila tanaman dipajankan pada semua suhu
diatas suhu yang menyebabkan vernalisasi. Pada beras belanda musim dingin, 15°C
merupakan suhu netral, suhu dibawaah itu akan mempercepat pembungaan, dan suhu
diatas itu akan menunda pembungaan. Kondisi anaerobik setelah vernalisasi juga
menyebabkan devernalisasi, bahkan juga pada suhu netral. Setelah devernalisasi,
sebagian besar tumbuhan dapat divernalisasi ulang dengan perlakuan suhu rendah.
Vernalisasi
Dan Giberelin
Jika meristem apikal
itu sendiri memberikan respon terhadap suhu rendah, stimulus atau hormone
pembuangan yang diangkut tampaknya tidak memberika respons. Pada sebagian besar
kejadian, efek vernalisasi tidak ditranslokasikan dari satu meristem kemeristem
lain, baik dalam tanaman yang sama maupun bila tunas atau tanaman yang
divernalisasi dienten
ketanaman tanpa vernalisasi. Namun terdapat perkecualian, seperti sudah pernah
dilaporan pada tahun 1937 oleh Georg Melchers di Jerman (diulas oleh Lang,
1965b). Penelitian tersebut kemudian dikembangkan di Uni Soviet. Saat Meichers
menyambung tanaman henbane yang divernalisasi ke tanaman penerima yang tak
pernah mendapat perlakuan suhu rendah, tanaman itu berbunga. Jenis respons tak
serupa juga mengirimkan stimulus pembungaan melewati tautan enten; misalnya,
tanaman yang perlu suhu rendah dapat diinduksi untuk berbunga tanpa mengalami suhu
rendah dengan dienten pada varietas yang tak perlu suhu rendah. Yang sebaliknya
juga dapat terjadi, walau tak begitu jelas. Namun, perlu ditegaskan bahwa
pengiriman hanya terbatas untuk beberapa spesies. Sebagian besar pengiriman
lewat tautan enten tidak berhasil.
Agar percobaan
berhasil, tautan enten yang hidup mesti terbentuk antara dua tanaman; kondisi
yang mendukung pengangkutan karbohidrat juga mendukung pengangkutan stimulus.
Jika tanaman penerima mengering, sedangkan daun yang berfotosintesis tinggal
pada tanaman donor, tanaman penerima tentulah mendapat hara dan tanaman donor, yang memacu pengangkutan stimulus vernalisasi
melewati tautan enten.
Meichers menduga ada
stimulus vernalisasi hipotetis yang dinamakannya vernalin. Tentulah yang perlu
dilakukan adalah mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa itu. Banyak usaha
sia-sia yang telah dilakukan, tapi hasil penelitian dengan menggunakan
giberelin menunjukkan bahwa sifat giberelin serupa dengan dugaan sifat
vernalin. Anton Lang (1957) menemukan bahwa giberelin yang diberikan pada
tanaman dwitahun tertentu menyebabkan tanaman itu berbunga tanpa perlakuan suhu
rendah (gambar 22.8). Peneliti lain (misalnya Purvis, 1961) menginduksi
tumbuhan-setahun musim-dingin dengan memberikan giberelin pada benihnya.
Ternyata giberelin alami dibentuk dalam spesies yang memerlukan suhu-rendah
selama spesies itu terpajan pada suhu rendah. Jadi, giberelin jelas terlibat
dalam vernalisasi.
Apakah giberelin sama
dengan vernalin? Banyak alasan yang menyebabkan ahli fisiologi tumbuhan enggan
menjawab ya. Bila giberelin (terutama hanya GA3) diberikan pada
tanaman roset yang perlu suhu rendah, respons pertama yang teramati adalah
pemanjangan pucuk vegetatif, diikuti oleh perkembangan tunas pembungaan pada
pucuk itu. Tapi, bila tanaman diinduksi untuk berbunga dengan perlakuan suhu
rendah, tunas pembungaan mulai membengkak. Jika respon pembungaan terhadap
perlakuan giberelin tidak dapat disamakan dengan induksi alami pembungaan, beberapa
pertanyaan dapat diajukan: Dapatkah giberelin menyebabkan perubahan dalam
tanaman sehingga terjadi pembungaan atau bahkan menghasilkan vernalin? Dapatkah
beberapa molekul yang berbeda mempengaruhi program morfogenetik dengan cara
yang pada dasarnya sama?
Mikhail Chailakhyan
(1968) di Uni Soviet mengemukakan bahwa terdapat dua senyawa yang terlibat
dalam pembentukan bunga: yang pertama adalah giberelin atau senyawa
lir-giberelin, dan yang kedua adalah senyawa yang dinamakana antesin. Tanaman
yang V memerlukan suhu rendah dan/atau hari panjang mungkin tak mengandung
cukup giberelin bila tidak terpajan pada lingkungan penginduksi, sedangkan
tanaman hari-pendek mungkin mengandung cukup giberelin, tapi kekurangan
antesin. Chailakhyan sependapat bahwa tanaman yang perlu suhu rendah
memproduksi vernalin Melchers sebagai - respons terhadap suhu rendah, tapi
vernalin kemudian diubah selama hari panjang menjadi giberelin, paling tidak pada
tanaman yang memerlukan hari panjang setelah suhu rendah.
Penelitian yang dilakukan
puluhan tahun yang lalu oleh Melchers (1937) mendukung pandangan dua-senyawa
itu. Tanaman hari-pendek tanpa induksi (tembakau Maryland Mammoth) dienten ke
tanaman perlu suhu-rendah tanpa induksi (henbane), menyebabkan tanaman henbane
berbunga. Tampaknya, kedua tanaman itu masing-masing mengandung satu senyawa
esensial untuk proses pembungaan, tapi harus mendapatkan satu senyawa lagi dan
tanaman yang dientenkan padanya. Fenomena ini berlaku untuk henbane, tapi tidak
untuk tembakau.
Vernalisasi
Dan Fase Induksi
Pembungaan lazimnya
terjadi beberapa hari atau minggu setelah perlakuan suhu rendah. Seberapa
tetapkah fase induksi ini, yatu kondisi tanaman tervernalisasi, sebelum
berbunga? Untuk berbunga, salah satu varietas henbane memerlukan suhu rendah
yang diikuti oleh hari panjang. Setelah vernilisasi, pembungaan dapat ditunda
dengan hanya memberi hari pendek (lihat gambar 22.5). StimuIus vernalisasi
tidak hilang pada tanaman seperti itu setelah 190 hari, walaupun semua daun
awal yang terpajan pada suhu rendah telah mall. Barulah setelah 300 hari
kondisi vernalisasi mulai hilang. Pada banyak spesies tumbuhan, fase induksi
tampak sangat stabil. Misalnya, benih tanaman bebijian tertentu dapat diIembabkan
(sampai 40 persen air, kadar yang sangat rendah bagi perkecambahan),
divernalisasi, dan kemudian dikeringkan dan dipertahankan selama beberapa bulan
sampai beberapa tahun tanpa kehilangan kondisi vernalisasi. Kami perhatikan
bahwa kisaran yang diperbanyak dengan stek mempertahankan kondisi vernalisasi
awalnya. Namun, fase induksi jauh kurang permanen pada beberapa spesies
lainnya.
22.3
DORMANSI
Fenomena
Hanya sedikit tumbuhan
yang berfungsi aktif pada suhu mendekati titik beku. Karena itu, bagaimana
tumbuhan dapat hidup di daerah dengan suhu mendekati atau di bawah titik beku
selama beberapa minggu atau bulan setiap tahunnya? Lazimnya tumbuhan seperti
itu menjadi dorman atau kuisen, yaitu tetap hidup, tapi aktivitas metaboliknya
rendah. Daun dan tunas tumbuhan-tetap-hijau menurun aktivitasnya selama musim
dingin, sedangkan tumbuhan-gugur-daun tahunan menggugurkan daunnya dan
membentuk tunas tak-aktif yang khusus. Biji sebagian besar spesies di daerah
dingin mengalami dorman atau kuiseñ lama musim dingin. Perubahan tertentu
terjadi di dalam sel biji tersebut yang memungkinkannya bertahan pada suhu di
bawah titik beku (baca bab 26).
Mungkin suhu itu
sendiri mempunyai peran mengendalikan kelangsungan hidup tumbuhan di daerah
dingin. Kondisi dorman atau kuisen dan daun dan tunas tumbuhan-tetap-hijau
sering terbentuk sebagai respons terhadap suhu rendah, efek yang lazimnya
diperkuat oleh hari pendek. Pertumbuhan berikutnya pada musim semi sering
bergantung pada lamanya pemajanan tunas dan biji dorman pada suhu rendah musim
dingin. Tunas atau biji menumpuk atau menjumlahkan periode pajanan pada suhu rendah.
Jadi, tanaman mengukur panjang musim dingin dan memperkirakan musim semi, kapan
saat yang aman untuk mulai tumbuh dan melonggarkan pertahanan.
Seperti yang sering
kita simak dalam pembahasan, situasinya menjadi semakin rumit. Tumbuhan umumnya
memberikan respons terhadap berbagai isyarat Iingkungan. Perkecambahan biji,
misalnya, dipengaruhi tidak hanya oleh suhu, tapi juga (bergantung pada
spesies) oleh cahaya, pemecahan kulit biji agar radikula dapat menerobos keluar
dan oksigen dan/atau air dapat masuk, penghilangan zat penghambat kimiawi dan
pematangan embrio.
Konsep
Dan Tata Nama Dormansi
Ahli fisiologi benih
biasanya menetapkan perkecambahah sebagai kejadian yang dimulai dengan imbibisi
dan diakhiri ketika radikula (akar lembaga; atau pada beberapa biji,
kotiledon/hipokotil) memanjang atau muncul melewati kulit biji (Bewley dan
Black, 1982, 1984; Mayer, 1974). Biji dapat tetap viabel (hidup), tapi tak
mampu berkecambah atau tumbuh karena beberapa alasan: kondisi luar atau kondisi
dalam. Situasi-dalam yang mudah dipahami adalah embnio yang belum mencapai
kematangan morfologi untuk mampu berkecambah (misalnya, pada beberapa anggota
Orchidaceae, Orobanchaceae, atau genus Ranunculus). Hanya waktulah yang
memungkinkan kematangan ini berkembang. Perkecambahan biji tumbuhan liar sering
terhambat oleh situasi-dalam ini, tapi perkecambahan biji berbagai tumbuhan
budidaya mungkin hanya terhambat oleh kurangnya kelembaban dan/atau suhu
hangat.
Untuk membedakan, kedua
keadaan yang berlainan itu, ahli fisiologi benih menggunakan dua istilah: Kuisen, yaitu kondisi biji saat tidak mampu
berkecambah hanya karena kondisi-luamya tidak sesuai (misalnya, biji terlalu kering
atau terlalu. Dingin) dan dormansi,
yaitu kondisi biji yang gagal berkecambah karena kondisi-dalam, walaupun kondisi-luar
(misalnya suhu, kelembaban, dan atmosfer) sudah sesuai.
Ada masalah pada
tata-nama itu. Biji dorman sering diinduksi untuk berkecambah oleh beberapa
perubahan khusus di lingkungan, seperti cahaya atau periode suhu rendah. Di
mana kita dapat menarik garis pemisah pada kondisi yang dinyatakan sebagai
‘kondisi-luar yang sesuai’? Lagi pula, ada pengertian bahwa kondisi-dalamlah
yang selalu merupakan pembatas. (Jika air merupakan pembatas, maka terjadi
kekurangan air dalam sel embrio di biji). Dengan kata lain, kondisi-luar hanya
memingkinkan perkecambahan dengan mempengaruhi kondisi-dalam. Kita bahkan lebih
tepat mengatakan kondisi dasar saja daripada bergantung pada kata sesuai. Jadi,
kita dapat menyebut dormansi sebagai kondisi biji saat biji gagal untuk
berkecambah walaupun (1) tersedia cukup banyak kelembaban luar, (2) biji
dipajankan ke kondisi atmosfer yang lazim ditemukan pada tanah beraerasi baik
atau pada permukaan tanah, dan (3) suhu berada dalam rentang yang biasanya
berkaitan dengan aktivitas fisiologi (katakanlah 10—30°C). (Seorang ahli
fisiologi benih dapat menetapkan kondisi yang lebih tepat). Karena itu, kuisen
merupakan kondisi biji yang gagal berkecambah kecuali bila kondisi tadi
diciptakan (Jann dan Amen, 1977). Konsep dormansi mencerminkan konsep induksi;
hampir pada semua kejadian, perkecambahan tidak berlangsung selama ada
perlakuan yang mengakhiri dormansi, tapi justru sesudahnya.
Seperti telah
dinyatakan secara singkat pada pasal 20.6, Lang dkk (1982; baca juga Salisbury,
1986) menyarankan untuk menggunakan istilah ekodormansi dalam
pengertian dormansi di sini, dan endodormansi
dalam pengertian kuisen. Mereka juga
menyatakan paradormansi sebagai suatu
bentuk dormansi yang dikendalikan oleh bagian tumbuhan selain dan bagian yang
sedang dorman itu (misalnya, dormansi tunas yang dikendalikan oleh daun di
dekatnya). Jika saran ini dipakai, mungkin dapat menghilangkan kebingungan yang
meliputi tata nama dormansi.
Ada satu istilah lain
yang kerap digunakan para penulis dalam bidang kajian ini yaitu pascapematangan
yang menunjukkan semua perubahan yang berlangsung di dalam biji (atau tunas)
selama berakhirnya dormansi. Penulis lain (misalnya, Leopold dan Kniedemann,
1975) menggunakan istilah itu dalam pengertian yang lebih tepat, terbatas pada
perubahan kematangan yang terjadi di dalam embrio selama penyimpanan. Kita
dapat menganggap pasca pematangan sebagai perubahan berakhirnya dormansi yang
terjadi dalam biji seiring dengan berjalannya waktu, tapi tanpa perlakuan
khusus lainnya (Bewley dan Black, 1984).
22.4
MASA HIDUP DAN PERKECAMBAHAN BIJI
Merupakan hal yang
menarik bahwa organisme hidup dapat memasuki keadaan semacam mati suri, yaitu
tetap hidup, meskipun tidak tumbuh selama jangka waktu yang lama, dan baru
mulai tumbuh aktif bila kondisinya sudah sesuai. Ada laporan tentang
keberhasilan perkecambahan gandum Emmer dan lumbung kuno makanan ternak di
Fayum (disimpan sekitar 6400 tahun yang lalu) atau dari makam Tutankhamen di
Thebes (4000 atau 5000 tahun yang lalu). Penyelidikan pada biji itu menunjukkan
bahwa biji tersebut tidak hanya mati, tapi juga tidak memiliki komponen asam
nukleat yang bobot molekulnya besar (baca Osborne, 1980). Bewley dan Black
(1982, 1984) menyatakan bahwa paling tidak salah satu di antara laporan itu
(dan tahun 1843; diproduksi-ulang dalam bahasan mereka) pasti bualan belaka.
Meskipun demikian, lama hidup beberapa biji memang sangat tinggi, beberapa di antaranya
melebihi masa hidup manusia (Mayer dan Poljakoff-Mayber, 1989).
Tabel 22.1 mencantumkan
lama hidup beberapa biji. Mimosa glormerata
mempunyai kemungkinan lama hidup 221 tahun, tapi masa hidup biji yang lazim
adalah antara 10 sampai 50 tahun. Biji mampu-tumbuh lupine (Lupinus arcticus) ditemukan dalam liang tikus (bersama
dengan sisa tikus) terbenam jauh di dalam lumpur beku permanen dan masa
Plaeistocene di Yukon Tengah (Porsild dkk, 1967). Bahan yang membuns biji
ditentukan dengan teknik radio-karboñ, dan ternyata berumur 14.000 tahun, tapi
tak ada bukti bahwa biji tersebut berumur setua itu (Bcwley dan Black, 1982).
Bjji, mampu-tumbuh teratai (Nelumbo nucifera) \ ditemukan dalam gambut di danau
kering di lembah sungai Pulantien, Manchuria Selatan, diperkirakan berumur
sangat muda (hasil penentuan dengan radio-karbon), tapi mungkin juga berumur
1000 atau 2000 tahun (penentuan secara arkeologi dari gambutnya). Biji teratai
serupa ditemukan di sebuah perahu di danau dekat Tokyo, dan perahu itu
ditentukan dengan radio-karbon, dan diperkirakan berumur 300Q tahun; di sini
pun tidak disebut-sebut umur bijinya. Namun, Priestly dan Posthumus (1982),
dengan menggunakan radio-karbon, menetapkan umur sebagian biji mampu-tumbuh
teratai dari Pulantien, dan ternyata umurnya sekitar 466 tahun pada sadit
berkecambah. Dan biji mampu-tumbuh yang umurnya ditentukan dengan bukti
tak-langsung semata-mata, umur Canna compacta
mungkin yang paling tepat dipercaya (Lerman dan Cigliáno, 1971). Tampaknya,
biji itu dimasukkan ke dalam buah muda kenari yang sedang tumbuh, dan pada saat
buah matang, buah itu pulih kembali, menghasilkan suara berderak. Biji tersebut
tertutup rapat di dalam kulit yang mengeras. Umur bahan kulit biji ditentukan
dengan radlo-karbon: 620 ± 60 tahun.
Kondisi penyimpanan
selalu mempengaruhi daya hidup biji. Meningkatnya kelembaban biasanya
mempercepat hilangnya daya hidup, tapi beberapa biji dapat hidup lama bila
terendam dalam air (misalnya, Juncus sp. Terbenam selama tujuh tahun atau
lebih). Berbagai biji lokal, seperti biji kapri dan kedelai, tetap mampu-tumbuh
lebih lama bila kandungan airya diturunkan dan biji disimpan pada suhu rendah. Penyimpanan
dalam pot atau di udara terbuka pada suhu sedang sampai tinggi biasanya
menyebabkan biji kehilangan air, dan sel akan pecah bila biji diberi air.
Pecahnya sel melukai embrio dan melepaskan hara yang merupakan bahan yang ,
baik bagi pertumbuhan patogen. Tingkat oksigen normal umumnya merugikan masa,
hidup biji. Kehilangan daya-hidup terbesar terjadi bila biji disimpan pada
udara lembab dengan suhu 35°C atau Iebih. Kehilangan daya-hidup dapat
disebabkan oleh patogen-dalam. Beberapa biji tetap hidup lebih lama jika
dibenamkan dalam tanah dibandingkan dengan bila disimpan dalam botol di rak
laboratoniurn mungkin karena perbedaan cahaya, 62, CO2, kelembaban, dan etilen.
Beberapa biji mempunyai
masa hidup yang amat pendek. Biji Acer
saccharin urn, Zizana aquatica, Salix japonica,. dan S. pierotti kehilangan daya-tumbuhnya dalam seminggu jika
diletakkan di udara terbuka. Bila spesies lainnya tetap dapat-tumbuh hanya
selama beberapa bulan sampai kurang dan satu tahun; dinamakan rekalsitran.
Sering biji tersebut mati hanya karena
kelembabannya sedikit hilang, atau biji tidak mampu bertahan pada suhu rendah
(misalnya, biji tanaman pepohonan tropika). Hail ini merupakan besar dalam
penyimpanan biji dalam cairan nitrogen dengan tujuan pengawetan genetic (seperti
di Laboratorium Benih Nasional di Fort Collins, Colorado).
Bagaimana cara biji
umur-panjang tetap mampu-tumbuh demikian lama? Selama biji tetap hidup, biji
mempertahankan bahan pangan cadangannya di dalam sel; segera setelah biji mati,
bahan itu mulai bocor keluar. Biji yang dorman, tapi yang mampu-tumbuh, dapat
tetap menempel pada kertas saring basah selama berbulan-bulan; setelah mati,
biji itu akãn segera tertutupi bakteri dan hifa fungi yang tumbuh pada makanan
yang bocor keluar. Sudah terbukti bahwa biji mampu-tumbuh menghasilkan
antibiotik yang mencegah serangan patogen. Namun, apakah yang mempertahankan
keutuhan membran? Tak seorang pun tahu.
Apa yang tetadi selama
perkecambahan? Walaupun masih terlalu disederhanakan, ahli fisiologi benih
menyatakan ada empat tahap: (1) hidrasi atau imbibisi; selama kedua periode
tersebut, air masuk ke dalam embrio dan membasahi protein dan koloid lain, (2)
pembentukan atau pengaktifan enzim, yang menyebabkan peningkatan aktivitas
metabolik, (3) pemanjangan sel radikel, diikuti munculnya radikel dan kulit
biji (perkecambahan yang sebenarnya), dan (4) pertumbuhan kecambah selanjutnya.
Lapisan yang membungkus embrio, yaitu endosperma, kulit biji, dan kulit buah,
dapat mengganggu masuknya air dan/atau oksigen. Lapisan itu pun bertindak
sebagai penghalang mekanis agar radikula tidak muncul (pasal 20.6). Pàda biji
lain, lapisan itu mencegah bocornya senyawa penghambat dati embrio atau
mengandung senyawa penghambat itu sendiri. Apakah penyebab dormansi, apakah
keuntungan ekologis dan mekanisme dormansi, dan bagaimanakah berbagai bentuk
dormansi diakhiri agar perkecambahan dapat berlangsung?
22.5
DORMANSI BIJI
Goncangan
Dan Skarifikasi
Contoh paling mudah
mengenai dormansi adalah adanya kulit biji yang keras yang menghalangi
penyerapan oksigen atau air. Kulit biji yang keras itu lazim terdapat pada anggota
famili Fabaceae (Leguminosae), walaupun tidak terdapat pada buncis atau kapri,
yang menunjukkan bahwa dormansi tidak umum pada spesies yang dibudidayakan.
Pada beberapa spesies, air dan oksigen tidak dapat menembus biji tertentu
karena jalan masuk dihalangi oleh sumpal seperti-gabus (sumpal strofiolar) pada lubang kecil (lekah strofiolar) di kulit
biji. Bila biji digoncang-goncang, kadang sumpal itu lepas sehingga dapat
berlangsung perkecambahan. Perlakuan itu dinamakan goncangan, dan telah
diterapkan pada biji Melilotus alba
(semanggi manis), Trigonella arabica,
dan Crotallaria egyptica.
Albizzia
lophantha merupakan tumbuhan kacangan berukuran kecil di
Australia Barat bagian barat daya (Dell, 1980). Sebagian besar biji berkecambah
hanya di lapisan tebal abu setelah terjadi kebakaran padang; kurang dan 5
persen yang dapat berkecambah tanpa panas. Ternyata, masuknya air ke dalam biji
dihalangi oleh sumpal strofiolar sampai sumpal itu terpental keluar bila biji
itu kena panas. Jadi, penyebaran tumbuhan ini terhambat bila tidak ada
kebakaran dan dengan adanya sumpal strofiolar.
Pemecahan penghalang
kulit biji dinamakan skarifikasi
atau penggoresan. Untuk itu digunakan pisau, kikir, dan kertas amplas. Di alam,
goresan tersebut mungkin terjadi akibat kerja mikroba, ketika biji melewati
alat pencernaan pada burung atau hewan lain, biji terpajan pada suhu yang
berubah-ubah, atau terbawa air melintasi pasir atau cadas. Di laboratonium dan
di bidang pertanian (bila perlu) digunakan alkohol atau pelarut lemak lain
(yang menghilangkan bahan berlilin yang kadang menghalangi masuknya air) atau
asam pekat. Sebagai contoh, perkecambahan biji kapas dan berbagai tanaman
kacangan tropika dapat sangat dipacu dengan merendam biji terlebih dahulu dalam
asam sulfat selama beberapa menit sampai satu jam, dan selanjutnya dibilas
untuk menghilangkan asam itu.
Skarifikasi secara
ekologis sangat penting. Waktu yang diperlukan untuk menuntaskan skanifikasi
secara alami dapat mencegah terjadinya perkecambahan dini pada musim gugur atau
selama periode panas yang tak lazim pada musim dingin. Skanifikasi dalam alat
pencernaan burung atau hewan lain menyebabkan perkecambahan biji setelah biji
tersebar lebih luas. Biji yang tercuci selama terbawa aliran air di gurun tidak
hanya mengalami skarifikasi, tapi sering berakhir di tempat yang banyak
mengandung air. Dean Vest (1972) memperlihatkan hubungan simbiosis dan
mutualistis antara fungi dan biji Atriplex
confertifolia yang tumbuh di gurun Great Basin. Fungi tumbuh di kulit biji,
merekahkan kulit itu sehingga perkecambahan dapat berlangsung. Pertumbuhan
fungi terjadi hanya bila kondisi suhu dan kelembapan sesuai baginya selama awal
musim semi, yaitu waktu yang paling .,tepat bagi kecambah untuk dapat bertahan
hidup.
Seperti telah
dinyatakan sehubungan dengan Albizzia, kebakaran padang merupakan cara alami
lain yang sangat penting. Beberapa biji, khususnya dalam kondisi seperti pada
vegetasi semak pada iklim Mediteran (contohnya California Selatan), mengalami
skarifikasi dengan baik akibat kebakaran yang lazim terjadi di sana. Hasilnya,
terjadi pemulihan yang cepat di wilayah itu setelah terjadi kebakaran.
Kebakaran padang juga ,memusnahkan tajuk daun yang umumnya menyerap cahaya
merah yang menyebabkan spektrum cahaya menjadi kaya akan cahaya merah-jauh yang
menghambat perkecambahan biji (baca pasal 20.7).
Senyawa
Penghambat Osmotik Dan Kimia
Apakah yang menyebabkan
biji pada buah tomat yang masak tidak berkecambah di dalam buah? Padahal,
suhunya biasanya sangat- sesuai, dan kelembaban serta oksigennya pun cukup.
Jika biji dikeluarkan dan buah, dikeringkan, dan ditanam, biji itu segera
berkecambah; ini menunjukkan bahwa biji itu sudah cukup matang untuk
berkecambah. Memang, biji itu bahkan bisa berkecambah jika diambil langsung dan
buah dan dibiarkan mengambang di permukaan air. Di dalam buah, potensial
osmotik air buah terlalu negatif untuk perkecambahan (Bewley dan Black, 1984).
Zat penghambat khusus mungkin juga ada, persis seperti ABA dalam endosperma
yang sedang berkembang dan biji alfalfa, yang berfungsi sebagai penghambat
perkecambahan embrio. Buah lain menyaring panjang gelombang yang diperlukan
untuk perkecambahan. (Sebagian besar dari kita telah mengetahui bahwa ada biji
yang berkecambah di dalam buah jeruk; jadi, memang terjadi vivipari seperti
yang dibahas pada pasal 18.5).
Senyawa penghambat
kimia sering juga terdapat di dalam biji, dan sering penghambat ini harus
dikeluarkan lebih dulu sebelum perkecambahan dapat berlangsung. Di alam, bila
terdapat cukup curah hujan yang dapat mencuci penghambat dari biji, tanah akan
cukup basah bagi kecambah baru untuk bertahan hidup (Went, 1957). Hal ini
khususnya penting di gurun, karena kelembaban lebih menentukan daripada faktor
lain seperti suhu. Vest (1972) mendapatkan bahwa biji Atriplex mengandung cukup
banyak natrium klorida untuk menghambat perkecambahan biji secara usmotik (baca
juga Koller, 1957). Biasanya senyawa penghambat lebih rumit daripada garam
dapur (Evenari, 1957; Ketring, 1973), dan penghambat mewakili berbagai macam
kelompok senyawa organik. Beberapa di antaranya adalah kompleks pelepas-sianida
(khususnya di biji Rosaceae), sedangkan lainnya adalah senyawa pelepas-amonia.
Minyak sawi umum terdapat pada Brassicaceae (Cruciferae). Bahan organik penting
lainnya meliputi asam organik, Iakton tak-jenuh (khususnya kumarin, asam
parasorbat, dan protoanemonin), aldehid, minyak esensial, alkaloid, dan senyawa
fenol. ABA sering terdapat pada biji dorman, tapi kebanyakan sudah hilang jauh sebelum dormansi berakhir (Bewley dan
Black, 1984; Walton, 1977). Jadi, ABA mungkin merupakan penghambat kuat bagi
perkecambahan bila senyawa tersebut ada, tapi pastilah masih banyak penghambat
lain yang menyebabkan dormansi biji.
Penghambat
perkecambahan tidak hanya terdapat di biji; tapi juga di daun, akar, dan bagian
tumbuhan lain. Bila terbawa keluar tumbuhan atau dilepaskan selama pembusukan
sampah, senyawa penghambat dapat menghambat perkecambahan biji atau
perkembangan akar di sekitar tanaman induk. Senyawa yang dihasilkan oleh suatu
tumbuhan yang mengganggu tumbuhan lain dinamakan alelopati (bab 15). (Tentu saja, alelopati tidak menyebabkan
dormansi dalam pengertian biasa). Bahkan ada beberapa bahan yang dihasilkan
oleh organisme lain yang bentindak sebagai pemacu perkecambahan. Sebagai
contoh, nitrat adalah pemacu perkecambahan yang lazim digiinakan di laboratorium
fisiologi benih dan senyawa ini dihasilkan oleh pembusukan sisa tumbuhan atau
hewan.
Sebelum beralih dari
topik ini, perlu diingat bahwa banyak senyawa yang sudah kita kenal yang bukan
produk alam dapat sangat mempengaruhi perkecambahan dengan berbagai cara.
Senyawa sintetik antara lain berbagai senyawa pengatur tumbuh yang saat ini
penting secara komersil (contohnya, Dalapon). Tiourea digunakan di laboratorium
sebagai pemacu perkecambahan, dan nitrat serta nitrit sering digunakan untuk
merangsang perkecambahan berbagai biji gulma, khususnya spesies rumputan.
Perlakuan
Awal Suhu-Rendah Atau Pendinginan Awal
Banyak biji, terutama
biji spesies Rosaceae seperti buah-batu (persik, prem, ceri), berbagai pohon
gugur-daun lainnya, beberapa konifer, dan beberapa herba spesies Polygenum tdak
akan berkecambah kalau bijinya tidak terpajan pada suhu dan oksigen rendah
dalam kondisi lembab selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan (gambar 22.9).
Crocker dan Barton (1953) mencantumkan 62 spesies seperti itu, dan banyak, lagi
yang ditemukan sejak itu. Amat jarang, -biji lembab tanggap terhadap suhu
tinggi, dan beberapa biji memberikan respons terbaik bila suhu harian bergantian
antara tinggi dan rendah. Tindakan meletakkan biji selama musim dingin di dalam
wadah berisi pasir dan gambut lembab dinamakan stratifikasi. Karena biji dalam wadah harus diberi suhu rendah
sebelum mereka mau berkecambah, istilah yang lebih populer dan jelas daripada
stratifikasi saat ini adalah perlakuan
awal suhu-rendah atau pendinginan awal (prechilling).
Pendinginan awal di laboratorium benih dan untuk percobaan fisiologi biasanya
dilakukan dalam inkubator atau ruang tumbuh. Di alam, kebutuhan akan
suhu-rendah menyebabkan biji tidak berkecambah dini di musin gugur atau selama
periode panas yang tak biasa di musim dingin.
Apakah perubahan yang
berlangsung dalam biji selama pendinginan awal, yang memungkiñkan biji
selanjutnya berkecambah bila kondisi sudah sesuai? Sebagian besar biji,
termasuk yang memerlukan suhu rendah, kaya akan lemak dan protein, tapi
mengandung sedikit pati (Nikolaeva, 1969; Lang, 1965a). Selama pendinginan
awal, embrio beberapa spesies tumbuh sangat cepat dengan memindahkan senyawa
karbon dan nitrogen darl sel penyimpan-makanan. Gula terhimpun, dan hal ini
mungkin diperlukan sebagai sumber energi dan untuk menarik air secara osmosis,
yang selanjutnya menyebabkan perkecambahan. Bahkan pada biji yang perlu suhu
rendah seperti Fraxinus excelsior,
yang embrionya sudah berkembang penuh sebelum stratifikasi, perombakan
besar-besaran lemak terjadi dalam embrio itu sendiri selarma suhu rendah.
Kandungan protein meningkat, dan pati kemudian menghilang.
Mungkin zat penghambat
hilang selama pendinginan awal, dan/atau pemacu tumbuh seperti giberelin atau
sitokinin terhimpun (Khan, 1977). Auksin tidak terlalu berpengaruh pada
perkecambahan, tapi giberelin sering menggantikan semua atau sebagian
pendinginan, sama seperti yang terjadi pada vernalisasi. Mungkin giberelin
terhimpun selama stratifikasi dalam jumlah yang dapat menanggulangi dormansi,
tapi sebagian besar data yang diperoleh sampai sejauh ini menentang perkiraan
ini (Bewley dan Black, 1982, 1984). Efek sitokinin biasanya kurang jelas dan
kurang tersebar. Dapat dikatakan bahwa bentuk fitokrom penyerap-merah-jauh (Pfr)
merupakan pengatur tumbuh yang diperlukan untuk perkecambahan berbagai macam
biji, seperti dibahas pada bab 20.

Baik hilangnya
penghambat maupun terhimpunnya hormon di dalam biji telah diamati, tapi
terdapat banyak pertentangan. Pada pasal 20.6 dibahas kajian serupa yang
menggunakan biji perlu-cahaya. Disimpulkan bahwa radikelnya harus dianalisis
karena perubahan di bagian lain biji dapat menyebabkan tidak teramatinya
perubahan penting pada radikel berukuran kecil. Arias dan rekannya (1976)
mengukur giberelin di poros embrio dan di sel kotiledon penyimpan-makanan pada
pohon hazel (Corylus avellana), pada tumbuhan ini giberelin dapat menggantikan
kebutuhan akan pendinginan awal. Walaupun selama pendinginan awal hanya terjadi
sedikit penimbunan giberelin di kedua bagian itu, perlakuan tersebut -
memungkinkan poros embrio mensintesis giberelin bila dikembalikan ke suhu perkecambahan
20°C. Hal ini tidak terjadi pada kotiledon yang jauh lebih besar. Konsentrasi
GA di poros embrio menjadi 300 kali lebih tinggi daripada di kotiledon. Kajian
serupa perlu dilakukan dengan biji lain, apalagi sekarang sudah tersedia metode
analisis modern seperti KG-SM dan pengamatan ion tertentu yang memungklnkan
analisis yang peka terhadap harmon dan senyawa lain di bagian tanaman yang
kecil (simak pasal 17.2).
Dasar-dasar molekuler
untuk mengakhiri segala macam dormansi di biji masih harus terus diteliti,
antara lain karena beberapa laporan tampak saling bertentangan. Sebagai contoh,
senyawa yang menghambat respirasi, seperti nitrit, sianida, azida, malonat, tiourea,
dan tiotreitol, sering dapat mengakhiri dormansi biji. Sebaliknya, Roberts dan
Smith (1977) serta peneliti lain menunjukkan bahwa peningkatan kadar oksigen,
yang seharusnya meningkatkan respirasi, dapat menyebabkan perkecambahan
beberapa macam biji dorman.
Di manakah letak
mekanisme dormansi? Pertimbangkan tiga kemungkinan: kulit biji mengandung
senyawa kimia yang menghambat pemanjangan radikula; kuilt biji atau endosperma
bertindak sebagai penghalang mekanis bagi pemanjangan; dan/atau radikula itu
sendiri tidak mampu tumbuh bila tidak diberi pendinginan awal. Embrio berbagai
biji, yang telah diberi pendinginan awal, akan tumbuh bila ditempatkan pada
suhu lebih hangat, tapi embrio tanpa pendinginan awal tidak akan tumbuh. Dalam
hal ini, suhu rendah tentulah bertindak Iangsung pada embrio. Sama halnya,
embrio yang sedang tumbuh di biji walnut yang diberi perlakuan pendinginan awal
dapat memberi tekanan mekanis, setidaknya 1,0 MPa lebih besar daripada yang
diberikan oleh embrio tanpa pendinginan awal yang tak mampu merekahkan kulit
biji. Pada berbagai spesies lilac,
termasuk Syringa vulgaris, pendinginan
awal tidak berpengaruh pada ketahanan mekanis endosperma atau kandungan zat
penghambatnya. Tapi, radikula dan embrio yang mendapat pendinginan awal akan
memanjang dalam larutan yang potensial airnya sekitar 0,5 MPa lebih negatif
dibandingkan dengan potensial air larutan yang memungkinkan embrio tanpa
pendinginan akan tumbah (Junttila, 1973). Jadi, terdapat bukti yang kuat bahwa
embrio itu sendiri tanggap terhadap suhu rendah, tapi hanya ada sedikit bukti langsung
bahwa zat penghambat dalam kulit biji dipengaruhi, walaupun zat penghambat itu
memang sering dijumpai.
Pendinginan awal pada
biji kadang sangat memperlambat pertumbuhan, selain mengakhiri dormansi. Jika embrio
kecambah persik diambil dan kotiledonnya, embrio itu akan berkecambah tanpa
pendinginan awal, tapi kecambah sering kerdil dan abnormal., Bila diberi
pendinginan awal, embrio itu akan tumbuh menjadi kecambah normal. Jadi yang
menjamin kenormalan adalah pendinginan awal, bukan karena adanya kotiledon.
Karena tumbuhan kerdil sering kehilangan sifat kekerdilannya bila disemprot
dengan giberelin, maka tumpukan giberelin atau hormon lain selama pendinginan
awal berperan dalam menghilangkan sifat kerdil tersebut. Atau, pendinginan awal
dapat meningkatkan potensi untuk mensintesis giberelin.
Cahaya
Pada pasal 20.1 dan
20.6 telah dinyatakan bahwa cahaya mengendalikan perkecambahan berbagai biji,
dan dibahas beberapa kerumitan respons tersebut. Jelas terdapat beberapa isyarat
lingkungan, yang sering saling berinteraksi dengan cara yang ruwet, yang
mengendalikan proses perkecambahan.
22.6
DORMANSI KUNCUP
Di wilayah beriklim
sedang, dormansi biji dan kuncup mempunyai banyak persamaan. Pada kuncup,
induksi dormansi sama pentingnya dengan berakhirnya dormansi. Dormansi kuncup
hampir selalu berkembang sebelum terbentuknya warna pada musim gugur dan
mengeringnya daun. Kuncup berbagai pohon berhenti tumbuh di tengah musim panas,
kadang memperlihatkan sedikit pertumbuhan kembali di akhir musim panas sebelum
memasuki dormansi penuh di musim gugur. Kuncup bunga yang akan tumbuh pada
musim berikutnya biasanya terbentuk pada pohon buah-buahan di tengah musim panas.
Daun tetap berwarna hijau dan berfotosintesis secara aktif sampai awal musim
gugur ketika daun mulai mengering sebagai respons terhadap siang hari yang
pendek, cerah, dan dingin. Sejalan dengan hilangnya klorofil, pigmen karotenoid
kuning dan jingga menjadi tampak, dan antosianin (terutama glikosida sianidin)
disintesis. Buah, misalnya apel, sering matang selama waktu ini. Ketahanan
bunga es juga terbentuk sebagai respons terhadap suhu rendah dan hari pendek
musim gugur.
Pada banyak spesies,
dormansi kuncup diinduksi oleh suhu rendah, tapi ada juga respons terhadap panjang
hari, khususnya jika suhu tetap tinggi. Pada beberapa pohon gugur-daun yang
dikaji di Beltsville, Maryland (Downs dan Borthwick, 1956), perlakuan
hari-pendek menyebabkan teradinya pembentukan kuncup akhir yang dorman dan
terhambatnya pemanjangan ruas dan pembesaran daun, tapi sering daun tidak
gugur. Malam yang panjang, yang setiap kali disela oleh cahaya, mempunyai efek
yang sama seperti siang hari yang panjang. Kuncup pohon birkin (Betula pubescens) dapat langsung mendeteksi panjang hari, tapi pada tanaman
lain daunlah yang biasanya mendeteksi fotoperiode, walaupun dormansi terjadi di
kuncup (Wareing, 1956). Mungkin fenomena yang berhubungan ini, seperti fenomena
Iainnya, disebabkan oleh pengatur tumbuh, mungkin asam absisat (pasal 18.5).
Selalu ada interaksi Di
Beltsville, kajian yang menggunakan pohon gugur-daun memperlihatkan bahwa
induksi dormansi oleh hari-pendek teramati pada suhu antara 21°C dan 27°C.
Tapi, pada suhu antara 15° dan 21°C pertumbuhan batang sangat lambat, baik pada
hari panjang maupun hari pendek suhu rendah menghilangkan pengaruh panjang hari.
Ras genetik yang
berbeda dalam satu spesies, dinamakan ekotipe
(simak pasal 25.4), sering mempunyai respons dormansi yang sangat berbeda.
Sebagai contoh, Thomas O Perry dan Henry Hellmers (1973) mendapatkan bahwa ras
utara (Massachusetts) mapel merah (Acer
rubrum) membentuk dormansi musim dingin sebagai respons terhadap hari
pendek dan suhu rendah di dalam ruang tumbuh, tapi ras selatan dan Florida tidak.
Ole M Heide (1974) mempelajari cemara Norwegia (Picea abies). Cemara dan Austria (lintang 47°) berhenti memanjang
bila panjang hari 15 jam atau kurang, sedangkan cemara dan Norwegia bagian
utara (lmntang 64°) berhenti memanjang bila panjang hari 21 jam atau kurang.
Keduanya sudah berhenti tumbuh dengan baik sebelum muncul bunga es yang
mematikan. Suhu tidak terlalu berpengaruh, tapi pohon dan dataran tinggi berhenti
memanjang bila panjang hari lebih lama dan yang diperlukan untuk menghentikan
pertumbuhan pohon pada lintang yang
sama, tapi pada ketinggian yang rendah. Heide juga mendapatkan bahwa akar tidak
memberikan respons terhadap fotoperiode yang dibenikan pada pucuk. Dengan
beberapa kekecualian, akar terus tumbuh selama hara dan air tersedia, sampai
suhu tanah menjadi terlalu dingin (Kramer dan Kozlowskl, 1979). Jelas bahwa
pohon seperti itu beradaptasi dengan baik pada lingkungan tempatnya tumbuh
secara alami. Mapel Florida, misalnya, hanya tumbuh di iklim selatan yang
hangat karena tidak segeraa mengalami dormansi pada musim gugur.
Tiadanya air sering
mempercepat pembentukan dormansi, sama seperti terbatasnya hara mineral,
khususnya nitrogen. Hal ini mungkin penting bagi spesies yang memasuki dormansi
sebelum terjadinya suhu tinggi dan kekeringan di daerah tropika atau wilayah
beriklim kering. Juga dikenal pembentukan dormansi sebagai respons terhadap
perubahan panjang hari (dan bahkan perubahan suhu tanah).
Dormansi-kuncup-sebagian
berlangsung mendahului dormansi sejati, dan hal itu dapat dengan mudah dibalik
oleh suhu sedang dan hari panjang (atau cahaya terus menerus). Namun, secara
bertahap upaya untuk menginduksi pertumbuhan aktif gagal dan kemudian tumbuhan
mencapai dormansi sejati yang memerlukan perlakuan khusus untuk mengakhirinya
(Vegis, 1964).
Morfologi berperan penting
dalam fenomena dormansi. Kuncup dorman lazimnya mempunyai ruas sangat pendek
dan daun yang secara khusus berubah (dinamakan sisik kuncup). Sisik itu mencegah pengeringan, menghalangi
kehilangan bahang sebentar, dan membatasi gerak oksigen ke meristem di
bawahnya. Sisik kuncup juga tanggap terhadap cahaya ruang dan/atau mempunyai
fungsi lain. Boleh dikatakan sisik kuncup dapat disamakan dengan kulit biji.
Faktor hormon yang terlibat
dalam dormansi tidak diketahui, tapi pada tanaman pepohonan diketahui bahwa
asam absisat berpengaruh (Walton, 1980). Pada pertengahan tahun 1960an, sekelompok
peneliti melaporkan bahwa mereka dapat menginduksi pembentukan kuncup sehat
pada beberapa jenis pohon dengan memberikan ABA melalui daun, tapi tak seorang
pun yang dapat mengulanginya lagi. Phillips dkk (1980) menyusun daftar berbagai
contoh data yang saling bertentangan tentang apakah ABA terhimpun pada jaringan
dorman. Karena data yang saling bertentangan itu, saat ini tak mungkin
menyimpulkan bahwa ABA umumnya menyebabkan dormansi.
Dormansi juga berakhir
bila terdapat suhu dan/atau panjang hari tertentu. Efek suhu telah dikaji sejak
tahun 1880 (baca Leopold dan Kniedemann, 1975), tapi efek panjang-hari baru
dikenal sejak akhir 1950an. Karena daun memberikan respon terhadap panjang-hari
yang mempengaruhi induksi dormansi dan pembungaan, tampaknya masuk akal bahwa
daun merupakan satu-satunya organ tumbuhan yang tanggap terhadap panjang hari.
Tapi, sekarang diketahui bahwa dormansi berakhir bila hari panjang dialami
pohon tanpa-daun misalnya: birkin, beech, larch, yellow poplar, sweet gum, dan
red oak. Kecuali beech, semua spesies tersebut juga tanggap terhadap periode
suhu rendah. Pada spesies yang lain, suhu rendah harus diikuti oleh hari
panjang. Bahkan di pertengahan musim dingin, spesies tumbuhan gugur-daun
tertentu akan tanggap terhadap perlakuan hari-panjang (terutama cahaya
terus-menerus).
Dormansi di tengah
musim panas terjadi pada beberapa spesies (khususnya tumbuhan tetap-hijau),
saat batang berhenti memanjang selama jangka waktu tertentu. Dormansi ini
lazimnya berakhir bila tumbuhan mengalami lebih banyak hari-panjang.
Organ manakah yang
tanggap terhadap hari panjang yang mengakhiri dormansi? Tampaknya sisik kuncup itu
sendiri tanggap, atau cukup banyak cahaya masuk yang dapat menimbulkan respons
dalam jaringan daun primordia di bagian dalam kuncup. Mungkin, baik induksi
pembungaan oleh hari pendek maupun berakhirnya dormansi oleh hari panjang
merupakan respons fitokrom, tapi hal ini belum jelas. Pada beberapa penelitian
tentang induksi hari pendek, cahaya merah ternyata paling efektif dalam
interupsi malam, dan pengaruhnya agak terbalik oleh pajanan berikutnya pada
cahaya merah-jauh, tapi pembalikan ini tidak berlaku pada beberapa penelitian
lain.
Dormansi pada berbagai
kuncup dapat diakhiri dengan memberi suhu rendah. Suhu rendah di bawah 10°C
diperlukan selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada pohon buah-buahan,
suhu 5 sampai 7°C lebih efektif daripada 0°C. Penelitian yang cukup banyak
telah dilaksanakan pada pohon buah-buahan untuk menentukan periode suhu rendah
tersingkat yang diperlukan untuk mengakhiri dormansi; periode waktu ini akan
menentukan daerah paling selatan di wilayah lintang utara yang masih memungkinkan
tanaman itu dapat tumbuh. Sebagai contoh, apel memerlukan waktu 1000 sampai
1400 jam pada suhu sekitar 7°C. Telah diperoleh kemajuan dalam memilih kultivar
persik yang membutuhkan periode suhu rendah yang lebih singkat daripada normal,
sehingga dapat ditanam di daerah yang musim dinginnya lebih hangat. Suhu tinggi
yang dialami setelah suhu rendah ternyata menginduksi kembali dormansi pada tanaman
apel; keadaan ini sama seperti devernalisasi.
Pengaruh pendinginan
awal terhadap berakhimya dormansi tidak diteruskan dalam tumbuhan, tapi
terbatas pada setiap kuncup. Sebagai contoh, semak lilian yang dorman dapat
ditempatkan dengan hanya satu cabangnya menjulur keluar melalui lubang kecil
pada dinding rumah kaca. Cabang yang terpajan pada suhu rendah musim dingin itu
akan berdaun di awal musim semi, sedangkan bagian tanaman lainnya di sebelah
dalam rumah kaca tetap dorman.
Perlakuan beberapa
senyawa kimia pada kuncup dapat mengakhiri dormansi. Misalnya, 2-kloroetanol
(ClCH2CH2OH), sering disebut etilen klorohidrin, telah
digunakan dengan berhasil selama bertahun-tahun. Bila diberikan dalam bentuk
uap. senyawa ini dapat mengakhiri dormansi pohon buah-buahan. Perlakuan lain
yang sederhana tapi efektif adalah perendaman bagian tumbuhan dalam bak air
hangat (40 sampai 50°C) selama 15 detik. Pemberian giberelin mengakhiri
dormansi kuncup pada banyak tumbuhan gugur-daun, juga mengakhiri dormansi biji
yang memerlukan suhu rendah, dan menyebabkan pembungaan pada tumbuhan yang
memerlukan suhu rendah.
22.7
ORGAN PENYIMPAN BAWAH TANAH
Pada umumnya kondisi
suhu akan menginduksi pembentukan organ penyimpan di dalam tanah seperti bulbi,
subang, dan umbi. Pada beberapa spesies, dormansi juga dapat diakhiri atau
pertumbuhan berikutnya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Pada spesies lain,
panjang hari juga mempengaruhi pembentukan organ tersebut.
Kentang
Umbi kentang terbentuk
dari pembengkakkan pada ujung batang bawah tanah yang disebut stolon, yang
berasal dari nodus bagian pangkal batang dalam tanah. Pembentukan itu dapat
berlangsung pada rentang suhu dan panjang hari yang lebar. Ahli fisiologi
tumbuhan (Vreugdenhil dan Struik, 1989) menguraikan empat tahap dalam
pembentukan umbi: (1) Induksi dan pertumbuhan-awal stolon, (2) pertumbuhan
stolon (pemanjangan dan pembentukan cabang), (3) terhentinya pertumbuhan
membujur pada stolon, dan (4) induksi dan pertumbuhan-awal umbi, yang menghasilkan
pertumbuhan melebar pada ujung stolon, membentuk umbi. Keempat tahap itu dapat
dipisah-pisahkan secara eksperimen karena tiap tahap dipengaruhi secara berlainan
oleh kondisi lingkungan yang berbeda dan oleh perlakuan hormon yang berbeda.
Pertumbuhan awal stolon
dapat terjadi bahkan sebelum pucuk berdaun muncul, jadi tidak bergantung pada
isyarat dari pucuk. Tahap ini dapat berlangsung dalam rentang suhu dan panjang
hari yang lebar, tapi perkembangan stolon menjadi umbi biasanya (bergantung
pada kultivar) memerlukan kondisi yang lebih khusus. Tampaknya, untuk
pertumbuhan-awal stolon diperlukan kadar giberelin yang tinggi dan kadar sitokinin
yang tidak terlalu tinggi. Hari panjang menguntungkan bagi pemanjangan stolon,
sedangkan hari pendek menghentikan pertumbuhan stolon (Champan, 1958). Hari
pendek juga mengakibatkan menurunnya kadar giberelin dalam tumbuhan, dan hal ini
mungkin yang menyebabkan stolon berhenti memanjang. Penghambatan pemanjangan
stolon dapat dilakukan tanpa menghambat pembesarannya (yang membentuk umbi),
tapi lazimnya kedua proses ini berlangsung bersamaan. Etilen menghentikan
pembentukan stolon (contohnya, sebagai respons terhadap tahanan mekanis dalam
tanah), namun etilen juga menghentikan pembentukan umbi (Mingo-Castel dkk,
1976). Bila kondisi menguntungkan, umbi mulai tumbuh. Hal ini lebih dan
sekadar, respons terhadap giberelin dan etilen yang lebih rendah, yang keduanya
berpengaruh negatif; terdapat juga bukti yang kuat tentang adanya senyawa
penginduksi umbi yang terbentuk di daun beberapa kultivar sebagai respons
terhadap hari pendek. Dijumpai semua sifat yang diharapkan pada fotoperiodisme,
termasuk malam kritis dan efek penghambatan akibat pemberian cahaya
sebentar-sebentar selama periode gelap (simak bab 23 dan Champman, 1958).
Terdapat perbedaan nyata antara beberapa kultivar, tapi sebuah kajian
menunjukkan bahwa pembentukan umbi tidak memerlukan hari pendek, tapi tetap berlangsung
pada semua panjang hari (respons hari netral) bila suhu malam di bawah 20°C.
Pembentukan umbi paling baik pada suhu malam sekitar 12°C. Interaksi antara
fotoperiode dan suhu seperti itu sudah lazim, seperti juga pada vernalisasi dan
dormansi.
Stolon biasanya
dinyatakan sebagai batang mendatar di atas tanah, seperti pada arbei. Batang mendatar
di dalam tanah adalah rimpang. ‘Stolon’ kentang (istilah yang digunakan oleh
ahli fisiologi yang bekerja menekuni kentang) biasanya di dalam tanah, tapi
dapat juga di atas tanah; pada keadaan gelap, kuncup kentang di atas tanah
dapat juga berkembang menjadi stolon.
Pada kultivar yang peka
terhadap hari panjang, umbi tidak terbentuk pada suhu tanah berapa pun kecuali
bila pucuk terpajan pada suhu rendah. Karena itu, daun harus mendeteksi fotoperiode
maupun suhu, dan harus mengirim senyawa penginduksi umbi ke stolon. Berbagai
upaya dilakukan untuk mengisolasi senyawa itu, dan baru-baru ini Yasunoni Koda
dan rekan-rekannya (1980) berhasil mengisolasi bahan yang sangat aktif dan daun
kentang. Bahan itu menginduksi umbi in vitro
(potongan batang satu-nodus) pada konsentrasi 3 x 10-8 M, yaitu
rentang konsentrasi aktif untuk auksin dan zat pengatur tumbuh lainnya.
Terbukti bahwa senyawa tersebut merupakan molekul kompleks yang serupa dengan
asam jasmonat.
Karena merupakan batang
dalam tanah, umbi kentang memiliki sifat batang. Matanya adalah kuncup samping,
dan kuncup itu tetap tidak aktif bila ada kuncup apikal. Bila kentang
dipotong-potong untuk menghasilkan potongan benih, dominansi apikal akan
hilang, dan kuncup samping tumbuh jika dormansi diakhiri. Terdapat alasan
praktis untuk memperpanjang atau mengakhiri dormansi umbi. Semakin lama umbi
dapat disimpan selama musim dingin dan musim semi dalam kondisi dorman, semakin
tinggi harganya ketika dijual. Tapi, dalam sertifikat ‘benih’ kentang, diinginkan
dormansi dapat diakhiri dengan segera untuk menguji adanya patogen dalam sampel
umbi. Waktu yang lazim digunakan untuk mengakhiri dormansi agak lebih singkat
bila umbi disimpan pada suhu sekitar 20°C daripada di suhu lebih rendah, tapi
pengaruh suhu tidak tegas. Jelas tidak ada kebutuhan akan suhu rendah.
Dormansi umbi kentang
dapat diakhiri dengan perlakuan kimia yang efektif dalam mengakhiri dormansi
kuncup batang di atas tanah (misalnya 2-kloroetanol, giberelin, air panas, dan
sebagainya). Tiourea juga dapat menumbuhkan kuncup, tapi dapat menghasilkan sebanyak
delapan kuncup dan mata tunggal, bukannya satu kuncup seperti lazimnya.
Dormansi juga dapat diinduksi atau diperpanjang dengan menyemprotkan zat
pengatur tumbuh seperti maleat hidrazida atau kloroprofam ke daun sebelum panen
atau ke umbi setelah panen. Suhu penyimpanan juga penting. Pertumbuhan kuncup
umbi terjadi agak dini pada suhu tinggi, dan pda suhu rendah (sekitar 0 sampai
4°C)
pati diubah menjadi gula. Jika terpaksa digunakan suhu penyimpanan tunggal,
komprorni terbaik tampaknya sekitar 10°C. Namun, sarana pengolahan kentang
modern dapat menyimpan umbi pada suhu yang jauh lebih rendah (sekitar 2°C), dan
bila pekerja telah siap untuk memotong dan menggoreng umbi untuk membuat
keripik, mereka memindahkan umbi ke tempat penyimpanan yang suhunya lebih
tinggi selama beberapa hari sehingga gula diubah balik ke pati. Bila hal itu
tidak dilakukan, gula akan terbakar saat digoreng, menghasilkan warna coklat
tua bahkan hitam yang tidak diinginkan pada keripik kentang.
Bulbi
(Umbi Lapis) Dan Subang
Hanya ada sedikit
penelitian tentang induksi pembentukan bulbi, subang, dan rimpang. Namun,
banyak penelitian dilakukan di Belanda yang didukung sebagian besar oleh
industri bulbi negara itu. Penelitian ditujukan untuk menetapkan kondisi
penyimpanan optimum (terutama suhu penyimpanan sebagai fungsi waktu) untuk
pembentukan daun, bunga, dan batang pada waktu yang diinginkan dan dengan sifat
yang dikehendaki. Caranya adalah dengan mengamati morfologi bulbi dengan cermat
di lapang selama musim normal, dan kemudian mengulangi pengamatan itu pada
bulbi yang disimpan pada suhu yang terkendali dengan tepat. Tujuannya adalah
memendekkan waktu untuk berbunga, suatu proses yang dinamakan paksaan.
Penelitian ini telah dimulai sejak tahun 1920an (baca Hartsema, 1961; Rees,
1972).
Ada beberapa hal yang
umum: Bulbi harus mencapai ukuran kritis tertentu, yang sering memerlukan waktu
dua atau tiga tahun, sebelum tanggap terhadap suhu penyimpanan dengan membentuk
primordia bunga. Pada beberapa kasus (misalnya tulip), primordia daun terbentuk
sebelum bunga, tapi kadang pembentukan daun dan bunga hampir bersamaan. Suhu
khusus sering diperlukan untuk pertumbuhan-awal bunga atau pemanjangan batang
berikutnya. Pola perubahan dan suhu optimum biasanya sesuai dengan iklim tempat
asal bulbi.
Ada beberapa pola: Pada
beberapa spesies, primordia bunga terbentuk sebelum bulbi dapat dipanen. Hal ini
menyebabkan pembentukan bunga tidak dapat terlalu dikendalikan selama
penyimpanan, sehingga kajian tentang hal ini hanya sedikit. Pada spesies lain,
primordia bunga terbentuk selama periode penyimpanan setelah panen di musim
panas, tapi sebelum penanaman ulang di musim gugur, sehingga pengendaliannya
lebih mudah. Gambar 22.10 menunjukkan aturan suhu-penyimpanan yang di rancang untuk
mempercepat pembungaan tulip tepat untuk Natal. Perhatikan bahwa suhu yang
menginduksi pembungaan memang tinggi dibandingkan dengan suhu yang efektif
dalam vernalisasi biji dan seluruh tanaman. Meskipun demikian, responsnya
serupa.

Gambar 22.10 Perlakuan
suhu untuk pembungaan awal Tulipa gesneriana W. Copeland dan Iris xiphium
Imperator. Pada tulip, pertumbuhan-awal bunga mulai dan benlangsung dengan baik
selama pertakuan 20°C. Pemindahan ke ruang penyimpanan pada 8 dan 9°C akan
mempercepat pemekaran, sehingga bunga dihasilkan pada han Natal. Penlakuan 9°C
terus menerus memberikan percepatan yang sama, tapi mutunya jelek kecuali bile
mula-mula diberikan penlakuan 20°C. Bulbi ditanam di rumah kaca dan sulcu
diatur di tengah-tengah periode pendinginan awal. Mula-mula suhu ditingkatkan
saat pucuk daun mulai terlihat, kemudian saat panjangnya 3 cm, dan terakhir
saat panjangnya 6 cm. Pada iris, periode singkat suhu tinggi amat penting ntuk
pembungaan, walaupun pertumbuhan-awal nyata primordia buniga tidak terjadi
sampai bulbi djpindahkan dan suhu rendah ke 15°C, saat pan jang kuncup sekitar
6 cm. Penlakuan 9°C ni untuk menjamin percepatan. Pada’suhu jauh di atas 15°C
selama bagian akhir dan perlakuan, kadang dihasilkai, bunga abnormal. Tingkat
cahaya rendah akan fnényebabkan bunga ‘mekar’ pada saat itu, khususnya jika
suhu tidak tinggi. Jika suhu yang sangat tinggi (389C) digunakan selama periode
awal induksi bunga, organ bunga ditingkatkan atau diturunkan, atau dihasilkan
bunga dengan mahkota bunga empat, lima, atau dua. (Data dan Annie M Hartsema,
1961; gambar dan Salisbury, 1963)
Pada kebanyakan bunga
iris berbulbi (gambar 22.10), primordia bunga yang sesungguhnya akan tampak
selama suhu rendah musim dingin (9 sampi 13°C), tapi praperlakuan suhu tinggi
(20 sampai 30°C) penting jika pembentukan bunga harus betul-betul terjadi. Hal
ini merupakan contoh sesungguhnya dan induksi yang serupa dengan vernalisasi,
tapi responsnya terhadap suhu tinggi, bukan terhadap suhu rendah. Pada setiap
contoh, tumbuhan diadaptasi sehingga pembungaan, pertumbuhan vegetatif, dan
dormansinya sesuai sekali dengan perubahan musiman dari suhu.
Jerry M Baskin dan
Carol C Baskin (1990) mengkaji tumbuhan kecil, Pediomelum subacaule, yang tumbuh di rumpang cedar dijennessee, Georgia, dan Alabama. Tumbuhan tersebut
merupakan tumbuhan tahunan yang muncul pada awal musim semi, berbunga, dan
menjadi dorman pada akhir Juni dan awal Juli. Pada waktu itu pucuk dan akar
penghisapnya mati, meninggalkan kuncup pucuk kecil di ujung akar penyimpan
berumbi, sekitar 5 cm di bawah permukaan tanah. Tumbuhan tadi tidak tumbuh di
musim panas yang kering. Pemanjangan kuncup berlangsung pada musim gugur dan
akhir musim dingin, tapi tidak pada masa terdingin di pertengahan musim dingin
(gambar 22.11a).


Gambar 22.11 (a) Pan jang
kuncup Pediomelum subacaule sepanjang tahun, dibandingkan pada sithu maksimum
dan minimum. Tanaman ditumbuhkan pada vermikulit lembap di rumah kaca terbuka
dan tanpa pengaturan suhu. (b) Panjang kuncup Pediomelum, juga di vermikulit
lembap, ditumbuhkan pada suhu siang/mIam yang diatur sesuai dengan angka pada
gambar. Kurva bertanda terusan’ diberi perlakuan suhu buatan sesuai dengan
musim di lapang. Perhatikan bahwa tanaman pada suhu sedang (khususnya 15/6°C
dan 20/10°C) tumbuh selama percobaan berlangsung, sedangkan tanaman pada suhu
lebih panas tidak pernah tumbuh lebih cepat; tanaman pada suhu 5°C gagal untuk
tumbuh pada awalnya, tapi tumbuh cepat setelah 24 minggu. (Dan Baskin dan
Baskin, 1991, dengan izin)
Kedua peneliti tersebut
membenamkan akar dorman sedalam 5 cm di bawah permukaan vermikulit lembap, dengan
beberapa kombinasi suhu siang dan malam, seperti tercantum pada gambar 22.11b.
Seperangkat suhu (‘terusan’ pada gambar 22.11b) menyerupai suhu lapang.
Pemanjangan pucuk, yang diukur tiap selang waktu dengan mengangkat sebentar
tumbuhan dan vermikulit, berlangsung sangat lambat pada suhu tertinggi,
sedangkan pada suhu menengah (sejuk) pemanjangan pucuk terus berlangsung
sepanjang tahun. Tumbuhan yang berada pada suhu terendah (5°C) tidak tumbuh selama
20 minggu, tapi akhirnya tumbuh dengan sangat cepat. Tumbuhan yang diberi
perlakuan serupa dengan suhu lapang akan tumbuh secepat tumbuhan di lapang.
Hasil ini menunjukkan bahwa tumbuhan itu tidak pernah betul-betul dorman, tapi
hanya kuisen sebab tumbuhan itu akan tumbuh kapan saja jika suhu dan kelembapan
sudah sesuai. Namun, suhu optimum untuk pertumbuhan menurun dengan berjalannya
waktu, sehingga pertumbuhan yang cepat biasanya berlangsung pada musim gugur
dan akhir musim dingin. Perubahan fisiologis yang mengendalikan respons tumbuhan
terhadap suhu menjamin tumbuhan muncul ke permukaan tanah pada awal musim semi
ketika kelembapan tanah sudah cukup, kemudian menjadi dorman pada musim kering,
dan mengulangi urutan itu pada tahun berikutnya. Tampaknya kuisen disebabkan
oleh kekeringan (datang lebih lambat pada tahun yang basah), bukannya oleh
panjang hari, seperti yang terjadi pada Anemone
coronaria (Kadman-Zahavi dkk, 1984).
22.8
TERMOPERIODISME
Bahasan tentang suhu
sejauh ini kebanyakan berkisar pada daur suhu tahunan. Tapi, Frits Went (1957)
menjelaskan tentang termoperiodisme, suatu fenomena yang menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan/atau perkembangan ditingkatkan oleh suhu siang dan malam yang
bergantian. Kita perhatikan bahwa umbi kentang terbentuk sebagai respons
terhadap suhu malam yang rendah;
pembentukan buah tomat
juga ditingkatkan oleh suhu malam yang rendah. Pemanjangan batang dan
pertumbuhan-awal bunga juga merupakan respons termoperiodik pada beberapa
spesies. Bukti awal dari konsep termoperiodisme adalah bahwa produktivitas
tanaman lebih tinggi pada lingkungan termoperiodik. Bagi spesies tertentu,
termasuk kultivar tomat tertentu, hal itu berlaku, tapi perubahan suhu siang
dan malam tidak penting bagi pertumbuhan optimum berbagai spesies lainnya. Pada
suhu konstan optimum, tanaman bit gula, gandum, jelai, buncis, dan kapri tumbuh
sama baiknya pada suhu siang dan malam yang beragam. Peneliti harus hati-hati dalam
memperbandingkan berbagai kisaran termoperiodik dengan suhu konstan optimum,
bukan dengan suhu lain (Friend dan Helson, 1976).
Beberapa tanaman tumbuh
lebih baik bila lingkungannya berfluktuasi dalam daur 24-jam, mungkin
bertepatan dengan fase jam sirkadiannya. Jadi, beberapa spesies tumbuh dengan
lambat bila cahaya dan suhu konstan. Mengubah-ubah suhu dalam daur 24-jam dapat
mencegah atau menghambat kerusakan tanaman tomat yang disebabkan cahaya dan
suhu yang tetap terus-menerus, jika intensitas cahaya cukup tinggi. Memang
banyak respons termoperiodik berinteraksi dengan lingkungan cahaya, lazimnya
melalui fotoperiodisme dan kemungkinan melalui kesetimbangan dalam sistem
fitokrom.
Salah satu contoh
termoperiodisme yang menakjubkan dilaporkan oleh Went (1957), terjadi pada
Laothenia charysostorna (dulu genus Baeria), tumbuhan Corn positae semusim
kecil yang lazim terlihat selama musim semi di lembah gunung dan kaki bukit
serta kadang di bagian barat Gurun Mojave di California. Tanaman ini sangat
peka terhadap suhu malam. Pada percobaan Went, tanaman ini ditumbuhkan pada
kondisi hari-pendek, dan tanaman bertahan hidup hanya dua bulan bila suhu malam
20°C. Pada suhu lebih rendah, tanaman itu tumbuh paling tidak selama 100 hari.
Tanaman segera mati pada suhu malam 26°C. Banyak spesies tidak tumbuh baik pada
suhu malam setinggi itu, tapi bagaimana menjelaskan kematian pada suhu
tersebut? Tanaman Laothenia tumbuh dengan subur bila suhu siang di atas 26°C,
tapi suhu malam harus cukup rendah. Went melaporkan bahwa tumbuhan lain asli
California bertindak serupa pada percobaannya.
Seperti dikemukaan
sebelumnya, mungkin jaringan yang berbeda dalam tanaman yang sama mempunyai
suhu utama yang berbeda. Agar pertumbuhan dan perkembangan seluruh tumbuhan
berlangsung dengan baik, rentang suhu selama siang seyogianya mencakup suhu
sekitar-optimum untuk pertumbuhan semua jaringan. Lazimnya, suhu tanah berbeda
dengan suhu udara, sehingga tumbuhan mungkin mempunyai suhu utama yang
berlainan untuk akar dan pucuk. Dengan mempertahankan akar dan pucuk pada suhu
yang sama, pertumbuhan dan perkembangan optimum mungkin tak tercapai.
22.9
MEKANISME RESPONS SUHU-RENDAH
Bagimana kita dapat
memahami respons positif tumbuhan terhadap suhu rendah? Kita mungkin berhadapan
dengan semacam halangan bersifat hormon atau metabolik. Halangan seperti itu
dapat berupa zat penghambat kimia atau kurangnya beberapa bahan yang diperlukan
di dalam tumbuhan, atau keduanya. Pada suhu rendah zat penghambat dapat hilang,
atau zat pengatur tumbuh muncul yang akan mempengaruhi pembungaan, perkecambahan,
pertumbuhan kecambah selanjutnya, dan sebagainya. Giberelin dan ABA sering
tampak berperan. Apakah mekanisme yang sama berlaku pada beberapa respons yang
telah dijelaskan? Tentu saja sangat beragam sehingga kita tidak dapat mengharapkan
adanya mekanisme umum, meskipun ada beberapa yang sangat bermiripan.
Ingatkah anda pada
paradoks yang dikenalkan pada awal bab ini? Jika suhu rendah menurunkan laju
reaksi kimia, bagaimana kita dapat menerangkan adanya peningkatan produksi
beberapa pemacu tumbuh atau peningkatan perombakan zat penghambat pada suhu
rendah dibandingkan dengan pada suhu tinggi? Pada tahun 1940an, Meichers dan
Lang serta Purvis dan Gregory secara bersamaan, tapi berdasarkan penelitian
yang berlainan, mengusulkan suatu model (gambar 22.1) yang tidak berbeda dengan
model pada gambar 22.3. Terdapat dua reaksi interaksi hipotetik, yaitu pertama
(I) dengan koefisien suhu (Q10) agak rendah, yang lain (II) dengan Q10
lebih tinggi. Produk reaksi I masuk ke reaksi II. Jika laju reaksi I melebihi
laju reaksi II, maka produk (B) dan reaksi I akan menumpuk; jika sebaliknya
yang terjadi, produk (c) reaksi II yang akan menumpuk. Bahkan jika Q10
reaksi I memang rendah, tapi kemajuan reaksi pada suhu rendah lebih cepat
daripada reaksi II, maka kita dapat menerangkan mengapa terjadi penumpukan B
pada suhu rendah. Dengan meningkatnya suhu, laju reaksi II meningkat jauh lebih
cepat daripada laju reaksi 1, sehingga pada suatu suhu kritis, B akan digunakan
secepat dia diproduksi; jadi, tidak ada penumpukan. Reaksi II mengalami
devernalisasi, dan karena devernalisasi gagal setelah dua atau tiga hari pada
suhu netral, mungkin terjadi reaksi ketiga (III) yang mengubah B menjadi D,
suatu produk akhir yang stabil. Tentu saja model itu merupakan perkiraan
sederhana karena banyak faktor lain yang dapat berperan: sintesis enzim, kerja
enzim, perubahan permeabilitas membran, perubahan fase, pengangkutan hara, dan
sebagainya. Selama setengah abad tak seorang pun yang betul-betul menemukan
mekanisme seperti itu dalam organisme, walaupun prinsip tersebut masuk akal dan
mungkin memang begitu adanya.

Gambar 22.12 Kurva contoh
yang menunjukkan laju reaksi hipotetik sebagai fungsi suhu untuk reaksi dengan
nilai Q10 sebesar 1,5 atau 4,0. Jika reaksi dengan Q10 =
1,5 dinyatakan sebagai reaksi I yang teilihat dalam Iingkaran (dibahas pada nas)
dan jika reaksi dengan Q10 = 4,0 dinyatakan sebagai reaksi II, maka
produk hipotetik B akan sebanding dengan selisih kurva II dan kurva I
(ditunjukkan oleh kurva B). Bandingkan bentuk kurva B dengan kurva pada gambar
22.1, 22.3, dan 22.7. (Dan Salisbury, 1963)
Sistem umpan-balik
terkompensasi yang dibahas dalam
hubungannya dengan ketaktergantungan suhu pada jam biologi (pasal 21.6) dapat
memberikan suatu reaksi dengan koefisien suhu negatif. Produk suatu reaksi
dapat menghambat laju reaksi lainnya. Atau, pada suhu rendah, suatu senyawa
mungkin menumpuk karena bahan lain yang menghambat produksinya tidak tersedia.
Juga, mungkin dibutuhkan koefisien-suhu yang - berbeda. Karena giberelin
meningkat pada beberapa biji dan kuncup dengan berakhirnya dormansi, giberelin
mungkin serupa dengan B atau D pada gambar 22.12., Atau giberelin mungkin bocor
keluar dari wadah penyimpanan bila membran menjadi jauh lebih permeabel pada
suhu rendah (Arias dkk,, 1976). Pada beberapa spesies, sitokinin atau etilen
dapat berperan seperti giberelin.
Bagaimana bila kita
menghadapi penghancuran penghambat pada suhu rendah, bukannya sintesis pemacu?
Kita hanya harus membalik peranan kedua reaksi hipotetik pada model itu. Reaksi
penghancuran (atau pengubahan) mestinya mempunyai laju yang cukup cepat pada
suhu rendah dan Q10 yang rendah. Sebaliknya, sintesis penghambat harus
berjalan lambat pada suhu rendah, tapi harus mempunyai Q10 yang
tinggi.
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Salisbury,
Frank B. 1995. Fisiologi Tumbuhan.
Bandung: ITB Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar