I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh
peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong
peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim adalah unsur utama dalam sistem
metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak
buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Las, 2007).
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah
katulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara, serta
peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan
beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi Indonesia (Tim Sintesis
Kebijakan, 2007).
Perubahan iklim yang telah menimbulkan beberapa bencana
yang memiliki kemungkinan untuk menjadi lebih buruk di masa mendatang.
Dengan menggunakan asumsi kenaikan suhu di Indonesia antara 0,40 -
30 C di tahun 2030 dan 0,90 - 40 C
di tahun 2070, terbukti bahwa perubahan iklim akibat memanasnya bumi secara
negatif akan menurunkan produksi pertanian dan tingkat kesejahteraan
antara 2,5 - 18 persen per tahun (Rahayu, 2007).
Beberapa penemuan terakhir mulai memperjelas pengaruh iklim
terhadap produksi pertanian. Pengaruh pada produksi pertanian dapat disebabkan
paling tidak oleh pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman, organisme
pengganggu tanaman, dan kondisi tanah. Iklim dan cuaca merupakan faktor penentu
utama bagi pertumbuhan dan produktifitas tanaman pangan.Produktifitas pertanian
berubah-ubah secara nyata dari tahun ke tahun. Perubahan drastis cuaca, lebih
berpengaruh terhadap pertanian dibanding perubahan rata-rata. Tanaman sangat
peka terhadap perubahan cuaca yang sifatnya sementara dan drastis. Perbedaan
cuaca antar tahun lebih berpengaruh dibanding dengan perubahan iklim yang
diproyeksikan (Munawar, 2010).Makalah ini akan membahas mengenai penyebab
terjadinya perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
produktifitas tanaman.
II. PENYABAB TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh
peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong
peningkatan suhu bumi (Las, 2007). IPCC (2007) dalam Noordwijk
(2008). telah memberikan banyak bukti kuat secara ilmiah bahwa iklim
global telah berubah pada tingkatan yang cukup besar sepanjang sejarah geologi.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, terutama
tersusun dari gas-gas CO2, CH4 dan N2O.
Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon
dioksida (CO2). Sebagian dari karbon dioksida ini dapat diserap
kembali, antara lain melalui proses fotosintesis yang merupakan bagian dari
proses pertumbuhan tanaman atau pohon. Namun, kini kebanyakan negara
memproduksi karbon dioksida secara jauh lebih cepat ketimbang kecepatan
penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga konsentrasinya di atmosfer meningkat
secara bertahap. Ada beberapa gas rumah kaca yang lain. Salah satunya adalah
metan (CH4), yang dapat dihasilkan dari lahan rawa dan sawah serta
dari tumpukan sampah dan kotoran ternak. Gas-gas rumah kaca lainnya, meski
jumlahnya lebih sedikit, antara lain adalah nitrogen oksida (N2O)
dan sulfur heksaflorida (SF6) (United Nations Development Programme
Indonesia, 2007).
Beberapa jenis gas di atmosfir, seperti CO2, CH4,
dan N2O mempengaruhi iklim permukaan bumi karena
kemampuanya dalam membantu proses transmisi radiasi dari matahari ke permukaan
bumi, dan juga menghambat keluarnya sebagian radiasi dari permukaan bumi. Kalau
konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang keluar dari
permukaan bumi akan terhambat, sehingga suhu permukaan bumi bertambah
besar. Prediksi peningkatan suhu bumi bukanlah suatu hal yang mudah iklim
di suatu daerah merupakan hasil interaksi dari proses-proses fisika dan mekanik
yang saling berhubungan. Peningkatan suhu, akan menyebabkan peningkatan evapotranspirasi
yang berdampak pada meningkatnya konsentrasi.Apabila konsentrasi dari
gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang berupa uap air, H2O(gas).
Uap air juga merupakan gas penghambat keluarnya radiasi dari permukaan bumi,
sementara di lain pihak keberadaan uap air tersebut juga menimbulkan umpan
balik negatif karena peningkatan pertumbuhan awan, menyebabkan terhambatnya
transmisi radiasi matahari ke permukaan bumi (Syarifuddin, 2011).
Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan GRK adalah
perindustrian, penyediaan energi listrik, dan transportasi. Sedangkan dari
peristiwa secara alam juga menghasilkan/ mengeluarkan GRK seperti dari letusan
gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, peternakan hingga kita bernafaspun
mengeluarkan GRK. Komposisi dan konsentrasi gas rumah kaca yang berada di
lapisan atmosfer akan sangat bergantung dari gas-gas emisi yang dihasilkan
berbagai kegiatan manusia dalam merekayasa sistem tatanan ekologi di planet ini
(Hamid, 2009).
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC)
mengklasifikasi enam jenis gas yang dapat menyerap radiasi matahari di lapisan
atmosfer yaitu Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (NO2),
Metana (CH4), Sulfurheksaflorida (SF6), Perfluorokarbon
(PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Gas karbondioksida (CO2), dinitrooksida (NO2)
dan metana (CH4) terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar
fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana (CH4)
juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk gas
sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon
(HFCs) dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol (partikel
kecil/debu) (Hamid, 2009).
III. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP
PERTUMBUHAN TANAMAN
Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga
unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian,
yaitu: (1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain,
terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan, (3)
makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti
El-Nino dan La-Nina, dan (4) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung
es di kutub utara. (Direktorat Pengelolaan Air, 2009).
1.
Dampak Peningkatan Konsentrasi CO2 di Atmosfer.
Gas CO2 merupakan sumber karbon utama bagi
pertumbuhan tanaman. Konsentrasi CO2 di atmosfir saat ini belum
optimal, sehingga penambahan CO2 kepada tanaman di dalam
industri pertanian di dalam rumah kaca merupakan kegiatan normal untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti tomat, selada, timun dan bunga potong.
Pengaruh fisiologis utama dari kenaikan CO2 adalah
meningkatnya laju assimilasi (laju pengikatan CO2 untuk
membentuk karbohidrat,fotosintesis) di dalam daun. Efisiensi penggunaan
faktor-faktor pertumbuhan lainnya (seperti radiasi matahari, air dan nutrisi)
juga akan ikut meningkat.
Selain pengaruh positif terhadap proses fotosintesis,
kenaikan CO2 juga akan mempunyai pengaruh positif terhadap
penggunaan air oleh tanaman. Stomata mempunyai fungsi sebagai pintu gerbang
masuknya CO2 dan keluarnya uap air ke/dari daun. Besar kecilnya
pembukaan stomata merupakan regulasi terpenting yang dilakukan oleh tanaman,
dimana tanaman berusaha memasukkan CO2 sebanyak mungkin tetapi
dengan mengeluarkan H2O sesedikit mungkin, untuk mencapai effisiensi
pertumbuhan yang tinggi. Jika CO2 di atmosfir meningkat,
tanaman tidak membutuhkan pembukaan stomata maksimum untuk mencapai konsentrasi
CO2 optimum di dalam daun, sehingga laju pengeluaran H2O
dapat dikurangi. Dengan kondisi tersebut maka laju pembentukan biomassa akan
meningkat (Syarifuddin, 2011).
Efek langsung dari meningkatnya CO2, berdampak
positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebagaimana dijelaskan
diatas. Akan tetapi dampak pengikutan berupa peningkatan suhu dan perubahan
siklus hidrologi menyebabkan pengaruh positif dari kenaikan CO2 menjadi
berkurang atau terhambat sama sekali (Munawar, 2010).
2. Naiknya Suhu Udara yang Juga Berdampak Terhadap
Unsur Iklim Lain.
Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi yang
diterima di permukaan bumi sementara tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman
ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam
tajuk tanaman, kandungan lengas tanah. Umumnya laju metabolisme makhluk hidup
akan bertambah dengan meningkatnya suhu hingga titik optimum tertentu. Beberapa
proses metabolisme tersebut antara lain bukaan stomata, laju transpirasi, laju
penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Setelah melewati titik
optimum, proses tersebut mulai dihambat: baik secara fisik maupun kimia,
menurunnya aktifitas enzim (enzim terdegradasi)
Pengaruh peningkatan suhu dapat mengurangi atau bahkan
mengurangi dampak positif yang diberikan dari meningkatnya konsentrasi CO2 di
atmosfir. Peningkatan suhu disekitar iklim mikro tanaman akan menyebabkan cepat
hilangnya kandungan lengas tanah (kadar air tanah) akibat evaporasi. Hal
tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman terutama pada daerah yang lengas tanahnya terbatas.
Setiap tanaman memiliki suhu dasar yang merupakan suhu
minimum bagi tanaman untuk bermetabolisme. Besaran suhu dasar ini akan
mempengaruhi besarnya Thermal unit yang diperlukan oleh tanaman untuk melewati
setiap fase perkembangannya. Hubungan antara thermal unit dengan suhu
lingkungan adalah berbanding lurus sementara berbanding terbalik dengan umur
tanaman. Artinya semakin tinggi suhu, maka umur tanaman akan semakin pendek
yang akhirnya berdampak pada waktu penumpukan fotosintat dan pembentukan
biomassa yang lebih rendah (Syarifuddin, 2011).
Dampak peningkatan suhu terhadap tanaman pangan
menurut Las (2007) adalah terjadinya peningkatan transpirasi yang menurunkan produktivitas,
peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji yang
menurunkan mutu hasil, dan perkembangan beberapa organisme pengganggu
tanaman. Bahkan dirjen IRRI (International Rice
Researh Institute) menyatakan bahwa dengan peningkatan suhu udara rata-rata 1°C
dapat menurunkan produktivitas beras dunia sekitar 5-10 %.
Peningkatan temperatur dapat menyebabkan penurunan produksi
pada berbagai jenis tanaman pangan, Menurut Tang et al., (2006)
dan Weerakoon et al., (2008), Pada tanaman padi, fase
pembentukan malai sangat sensitif terhadap temperatur tinggi. Selama tahap ini,
stress akibat panas sangat memungkinkan untuk terjadinya sterilitas floret,
menurunnya kesuburan dan kehilangan hasil. Hal ini terutama disebabkan oleh
menurunnya aktifitas serta perkecambahan polen, terbatasnya pertumbuhan tabung
polen, rendahnya daya dehiscence polen dan penyerbukan yang
tidak sempurna.
Di samping itu temperatur juga secara langsung berperan
terhadap perkembangan biji seperti pengisian biji dan laju produksi bahan
kering pada biji (Kobata dan Uemuki, 2004) Temperatur tinggi dapat menghambat
perkembangan biji pada padi (Zakaria et al., 2002) gandum (Hawker
dan Jenner, 1993).
Peningkatan temperatur selama kemasakan juga dapat
menyebabkan penurunan kualitas biji terutama yang diakibatkan oleh terhambatnya
akumulasi cadangan makanan pada biji (Zakaria, 2005). Munculnya bagian “putih
buram” yang biasanya di dapatkan pada bagian gabah yang kurang sempurna pada
musim panas diperkirakan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem transfer
dan transportasi cadangan makanan selama pembentukan biji. Bagian putih buram
ini adalah bagian dari kerusakan yang disebabkan oleh temperatur tinggi selama
kemasakan.
3.
Berubahnya Pola Curah Hujan.
Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya
perubahan jumlah hujan dan pola hujan yang
mengakibatkan pergeseran awal musim dan
periode masa tanam. Penurunan curah hujan telah menurunkan potensi
satu periode masa tanam padi (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007). Dampak
perubahan pola hujan diantaranya mempengaruhi waktu dan musim
tanam, pola tanam, degradasi lahan, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas
areal tanam dan areal panen, serta perubahan dan kerusakan keanekaragaman
hayati.
4. Makin Meningkatnya Intensitas Kejadian Iklim
Ekstrim (Anomali Iklim)
Seperti El-Nino dan La-Nina.
Perubahan siklus hidrologi terutama ditunjukkan oleh periode
La-Nina dan El-Nino yang semakin sering. La-Nina merupakan fenomena alam yang
ditandai dengan kondisi suhu muka laut di perairan Samudra Pasifik ekuator
berada di bawah nilai normalnya (dingin), sementara kondisi suhu muka laut di
perairan Benua Maritim Indonesia berada di atas nilai normalnya (hangat).
Kondisi suhu muka laut di samudra pasifik yang dingin menimbulkan tekanan udara
tinggi, sementara kondisi hangat perairan Indonesia yang berada di sebelah
barat pasifik menimbulkan tekanan udara rendah. Kondisi ini menyebabkan
mengalirnya massa udara dari pasifik ke wilayah Indonesia. Aliran tersebut
mendorong terjadinya konvergensi massa udara yang kaya uap air. Akibatnya
semakin banyak awan yang terkonsentrasi dan menyebabkan turunnya hujan yang
lebih banyak di daerah tersebut (lebih dari 40 mm/bulan di atas rata-rata
normalnya). Kebalikan dari La-Nina adalah El-Nino ketika suhu permukaan laut di
Samudra Pasifik menghangat dan menyebabkan terjadinya musim kemarau yang kering
dan panjang di Indonesia. Penurunan curah hujan pada saat El-Nino dapat
mencapai 80 mm/bulan (Boer 2002).
Bencana kekeringan sering terjadi di Indonesia. Hasil
pengamatan jangka panjang menunjukkan bahwa terjadinya musim kemarau
panjang akibat adanya fenomena anomali iklim global El-Nino pada umumnya
terjadi secara periodik setiap 5 tahun sekali (Bey et al., 1992).Pada
tahun El-Nino 1991, 1994, 1997 dan 2003 luas pertanaman tanaman padi telah
mengalami kekeringan berturut-turut seluas 868 ribu ha, 544 ribu ha, 504 ribu
ha dan 568 ribu ha dengan luasan gagal panen (puso) masing-masing seluas 192
ribu ha (22%), 161 ribu ha (30%), 88 ribu ha (18%) dan 117 ribu ha (21%).
Penurunan luas panen karena kekeringan tersebut mengakibatkan penurunan
produksi atau kehilangan hasil pada tahun 1991 diperkirakan mencapai 1,455 juta
ton GKG atau setara dengan 0,873 juta ton beras, sedangkan pada tahun 1994 dan
1997 menyebabkan kehilangan hasil 640 ton GKG (Jasis dan Karama, 1998).
Kekeringan merupakan faktor lingkungan utama yang
dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi bergantung pada
besarnya tingkat cekaman yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman ketika
mendapat cekaman kekeringan. Pada periode cekaman kekeringan yang panjang akan
mempengaruhi seluruh proses metabolismeme di dalam sel dan mengakibatkan
penurunan produksi tanaman.
Pada saat terjadi kekeringan, sebagian stomata daun menutup
sehingga terjadi hambatan masuknya CO2 dan
menurunkan aktivitas fotosintesis. Selain menghambat aktivitas fotosintesis,
cekaman kekeringan juga menghambat sintesis protein dan dinding sel
(Salisbury and Ross, 1995). Pengaruh cekaman kekeringan tidak saja menekan
pertumbuhan dan hasil bahkan menjadi penyebab kematian tanaman.
Penurunan laju fotosintesis akibat cekaman kekeringan,
merupakan kombinasi dari beberapa proses, yaitu : (1) penutupan stomata secara
hidroaktif mengurangi suplai CO2kedalam daun, (2) dehidrasi
kutikula, dinding epidermis, dan membran sel mengurangi permeabilitas terhadap
CO2, (3) bertambahnya tahanan sel mesofil terhadap pertukaran gas,
dan (4) menurunnya efisiensi sistem fotosintesis berkaitan dengan proses
biokimia dan aktifitas enzim dalam sitoplasma. Dimana dalam proses fotosintesis
terdapat proses hidrolisis yang memerlukan air.
Sedangkan La-Nina menyebabkan kerusakan tanaman akibat
banjir, dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit. La-Nina
menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang disukai oleh Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT). Pada daerah rawan banjir, kehadiran La-Nina
menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman. Pengaruh kelebihan air
terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda dibandingkan tanaman
dewasa (Syarifuddin, 2011). Jasis dan Karama (1998) menyatakan, banjir
menyebabkan kehilangan hasil tanaman padi sebesar 214 ton GKG per tahun.
5.
Naiknya Permukaan Air Laut.
Dampak naiknya muka air laut
di sektor pertanian terutama adalah
penciutan lahan pertanian di pesisir pantai,
kerusakan infrastruktur pertanian, dan
peningkatan salinitas yang merusak tanaman (Las, 2007).
Selain akan menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam
air laut, peningkatan permukaan air laut juga akan meningkatkan salinitas
(kegaraman) tanah sekitar pantai. Salinitas pada tanah bersifat racun bagi
tanaman sehingga mengganggu fisiologis dan fisik pada tanaman, kecuali tumbuhan
laut dan pantai atau varietas adaptif. Salinitas pada padi sangat erat
kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan Al. Indonesia sebagai
negara kepulauan mempunyai garis dan hamparan pantai yang sangat panjang,
sehingga penciutan lahan pertanian akibat peningkatan permukaan air laut
menjadi sangat luas (Direktorat Pengelolaan Air, 2009).
Pengaruh garam terlarut terhadap tanaman adalah melalui
osmotik karena konsentrasi garam yang tinggi menyulitkan tanaman menyerab air.
Akar tanaman memiliki membran semi permeabel yang melalukan air tapi tidak
dapat melewatkan hampir semua garam terlarut. Jadi air secara osmotik semakin
sulit diperoleh tanaman dengan semakin meningkatnya kadar garam larutan tanah.
Tanaman yang tumbuh pada media salin pada tingkat tertentu dapat meningkatkan
kosentrasi osmotik internalnya melalui produksi asam-asam organik atau
peningkatan serapan garam. Proses ini disebut sebagai penyesuaian osmotik (osmotic
adjusment). Pengaruh salinitas terhadap tanaman nampaknya berupa perubahan
energi dari proses pertumbuhan menjadi untuk mempertahankan perbedaan osmotik.
Salah satu proses pertama adalah deversi energi pertumbuhan untuk perpanjangan
sel. Jadi, untuk dapat mempertahankan perbedaan osmotik, sel jaringan daun
membelah tetapi tidak menyebabkan pemanjangan. Gejala terjadinya pertambahan jumlah
sel tapi tidak diikuti dengan perpanjangan sel dikarenakan adanya stres osmotik
ini adalah terjadinya warna daun yang menjadi hijau gelap (Anwar dan Sudadi,
2007).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S., Sudadi, U. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu dan
Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bey, A., H. Pawitan, I. Las, B. Tjasyono, and F. Winarso.
1992. Evaluation of Indonesian climate and anticipation of
dry season. Prosiding Seminar Nasional Antisipasi
Iklim 1992 dan Dampaknya terhadap Pertanian
Tanaman Pangan. PERHIMPI- Badan Litbang Pertanian.
Boer, R. 2002. Analisis Resiko Iklim Untuk Produksi
Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.
Hamid, H. 2009. Recovery Konservasi dan Rehabilitasi
Tumbuhan Sebagai Strategi Mitigasi Global Warming. http://zaifbio.wordpress.com /2009/07/07/recovery-konservasi-dan-rehabilitasi-tumbuhan-sebagai-strategi-mitigasi-global-warming/. [Diakses
16 Januari 2012].
Hawker, J.S., and Jenner, D.F. 1993. High temperature
affects the activity of enzymes in committed pathways of starch synthesis in
developing wheat endosperm. Aust. J. Plant Physiol. 20:197-209.
Jasis dan Karama, A. S. 1998. Kebijakan
Departemen Pertanian Dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding
Stategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La Nina dan El-Nino. Kerjasama
PERHIMPI dengan Jurusan GEOMET-IPB Puslittanak dan ICSEA.
Kobata, T. and Uemuki N. 2004. High tempetures during the
grain-filling period do not reduce the potential grain dry matter
increase of rice. Agron. J. 96:406-414.
Las, I. 2007. Pembingkaian Diskusi Panel dan Penelitian
Konsorsium Perubahan Iklim. Presentasi Round Table Discussion. Tim
Pokja Anomali Iklim. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Las, I. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan
Iklim (bagian 1). Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. http://www.litbang.deptan.
go.id/artikel/one/186/pdf/Strategi%20dan%20Inovasi%20Antisipasi%20Perubahan%20Iklim%20(bagian%201).pdf. [Diakses
15 Januari 2012].
Rahayu, S. 2007. Perubahan
Iklim dan Kemiskinan: Bagaimana nasib
petani kecil Indonesia kedepan, Kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional IX (KIPNAS-IX). Jakarta.
Runtunuwu, E dan Syahbuddin, H. 2007. Perubahan Pola Curah
Hujan dan Dampaknya Terhadap Periode Masa Tanam. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor.
Salisbury, F. B. and C.W.
Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid I. Penerbit ITB, Bandung.
Syarifuddin, M. 2011. Dampak Perubahan Iklim Bagi Pertumbuhan
dan Perkembangan Tanaman. Program Studi Manajemen Pertanian lahan Kering
Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Kupang. http://programs
tudimplk.blogspot.com/2011/05/dampak-perubahan-iklim-bagi-pertumbuhan.html. [Diakses
16 Januari 2012].
Tang, R. S., Zheng, J. C. and Zhang, D. D. 2006. The effects
of high temperatures on pollen vitality and seed setting of different rice
varieties. Jiangsu J. Agric. Sci. 22:369-373.
Weerakoon, W. M. W., Maruyama, A. and Ohba, K. 2008. Impact
of humidity on temperature induced grain sterility in rice (Oryza sativa L).
J. Agron. and Crop Sci. 194:135-140.
Zakaria, S., Matsuda, T. and Nitta, Y. 2002. Effect of
high temperature at ripening stage on the reserve accumulation in seed in some
rice cultivars. Plant Prod. Science. 4:160-168.
Zakaria, S. 2005. Effect of temperature in ripening stage on
the appearance of nucellar epidermis and reserves accumulation in endosperm of
rice (Oryza sativa L.). Jurnal Agrista.
pengaruh suhu terhadap tanaman
Pengertian Suhu
Suhu
mencakup dua aspek yaitu derajat dan insolasi. Insolasi menunjukan energi panas
dari matahari dengan satuan gram/kalori/cm2/jam. Dimana 1 grm kalori
digunakan untuk menaikan suhu satu gram air sebesar 10C.
Jumlah insolasi atau suhu suatu daerah berbeda-beda tergantung pada :
a. Latitude yaitu
letak lintang suatu tempat. Pada daerah katulistiwa insolasi lebih besar
dan berbeda dibandingkan dengan daerah sub-tropis atau daerah sedang. Suatu
daerah yang letaknya semakin kekutub maka insolasinya semakain rendah karena
sudut jatuh radiasi matahari semakin besar atau karena jarak matahari ke bumi
semakin jauh. Akan tetepi insolasi total untuk suatu musim pertumbuhan
tanaman hampir sama karena panjang hari yang lebih lama.
b. Musim : Pada
musim panas insolasi tinggi sedangkan pada musim hujan rendah
c. Kejernihan
atmosfer : semakin jernih atmosfer maka semakin tinggi insolasis yang diterima
oleh bumi karena tidak adanya awan atau bintik-bintik air
d. Konstanta
matahari : merupakan jarak matahari dengan bumi. Semakin dekat jarak matahri ke
bumi maka insolasi akan semakin tinggi.
Hubungan Suhu Dengan Tanaman
Suhu merupakan
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Suhu mempengaruhi beberpa proses fisiologis penting yaitu :
a. Buka dan
menututupnya stomata
b. Transpirasi
c. Penyerapan air
dan nutrisi (unsur hara)
d. Fotosintesis
e. Respirasi
f. Kinerja enzim
g. Cita rasa
tanaman
h. Pembentukan
primordia bunga
Peningkatan suhu sampai titik optimum akan diikuti oleh
peningkatan proses-proses tersebut dan setelah melewati titik optimum proses
tersebut mulai dihambat baik secara fisik maupun kimia. Menurunnya aktivitas
enzim (degradasi enzim).
Pada tanaman hortikultura suhu merupakan faktor penting dalam pembentukan
primordia bunga, dimana dalam pembentukan bunga tanaman dibutuhkan suhu optimal
yaitu suhu yang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan primordia bunga. Dimana
dalam pembentukan bunga tanaman memerlukan suhu optimal yaitu suhu yang
dibutuhkan oleh tanaman dalam pembentukan primordia bunga. Selian itu juga
mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan enzim pada suhu yang rendah 00C
umumnya aktivitas organisme tidak aktif atau dorman sedangkan pada suhu yang
tinggi akan menimbulkan proses pembentukan protein dan enzim yang bercerai
berai/rusak (denaturasi).
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Tanaman
Suhu yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikenal sebagai suhu
kerdinal yaitu meliputi suhu optimum, suhu minimum dan suhu maksimum. Suhu
kardinal yang dibutuhkan oleh tanaman adalah berbeda-beda tergantung pada
jenis tanamannya. Dimana suhu yang berada dibawah batas maksimum atau diatas
optimum ini tidak baik untuk tanaman, keadaan tersebut sering disebut suhu
ekstrim. Pengaruh faktor suhu pada tanaman menimbulkan gangguan-gangguan pada
tanaman baik secara morfologi maupun fisiologinya.
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat dibedakan
sebagai berikut :
1. Batas Suhu Yang
Menguntungkan
Tanaman
Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman diketahui sebagai
suhu optimum. Pada batas ini semua proses dalam perkembangan dan pertumbuhan
tanaman akan berjalan baik dari segi morfologi muapun fisiologinya.
Proses fisiologi tersebut antara lain yaitu :
a. Fotosintesis
b. Respirasi
c. Penyerapan air
d. Transpirasi
e. Pembelahan sel
f. Pemanjangan sel
dan
g. Perubahan
fungsi sel akan berlangsung secara baik sehingga akan diperoleh produksi
maksimum pada setiap jenis tanaman kebutuhan akan suhu optimum ini bervariasi
seperti pada tanaman C3 membutuhkan suhu optimumnya antara 27 0C
sampai 280C, sedangkan pada tanaman C4 suhu optimumnya adalah 300C
sampai 350C.
Berdasarkan
hal ini tanaman hortikultura dikelompokkan sebagai berikut :
I. Tanaman yang
menghendaki batas suhu optimum yang rendah ( tanaman musim dingin), yaitu
tanaman yang tumbuh baik pada suhu 450F sampai 600
II. Tanaman yang
menghendaki batas suhu optimum yang tinggi (musim panas), yaitu tanaman yang
tumbuh baik pada suhu antara 600F sampai 750F
Dari tipe-tipe tanaman tersebut diatas maka dapat dilihat
contoh-contoh tanamannya pada tabel berikut.
Tanaman Musim Dingin (suhu Optimum = 45-600F)
|
Tanaman buah-buahan
|
Tanaman sayuran
|
Tanaman hias
|
Apel, pear, cherry, plum, strawbery
|
Asparagus, kubis, wortel, kentang dll
|
Gramenium, petunia
|
Tanaman Musim Dingin (suhu Optimum = 60-750F)
|
Apricot, grape, citrus
|
Tomat, waluh, ketimun
|
Rose, orchid
|
Dilihat dari segi morfologinya yaitu :
a. Pertumbuhan dan
perkembangan vegetatif tanaman
b. Pertumbuhan dan
perkembangan generatif tanaman
c. Daya
perkecambahan dan daya tumbuh benih tanaman
2. Batas Suhu Yang
Tidak Menguntungkan
Batas suhu yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
dapat dibedakan sebagai berikut baik secara morfoligi dan fisiologinya :
a. Suhu Diatas
Maksimum yang berpengaruh terhadap :
i. Respirasi yaitu
terjadinya proses respirasi dan absobsi air yang tinggi sehingga terjadi
proses-proses perombakan protein dan terhambatnya kinerja enzim (denaturasi).
ii. Terganggunya
pembentukan sel generatif yang terjadi karena rusaknya pembelahan sel
secara mitosis sehingga biji akan mandul atau kosong.
iii. Terjadinya
translokasi yaitu terganggunya proses pengangkutan dan penyebarann assimilat
(hasil fotosintesis) dari sumber fotosintesis ke bagian-bagian tanaman yang
menggunakan atau menyimpan cadangan makanan seperti : buah, batang dan umbi.
iv. Terjadinya
mutasi gen akibat adanaya suhu yang terlalu tinggi yang menyebabkan berubahnya
susunan genetik tanaman atau adanya sinar gamma.
v. Tanaman
kekurangan unsur hara, karena suhu tinggi dapat mengganggu perombakan-perombakan
senyawa-senyawa penting bagi tanaman.
vi. Tanaman menjadi
layu akibat suhu yang tinggi sehingga absorbsi air yang rendah dan tingginya
evapotranspirasi
3. Suhu Dibawah
Minimumk perlambatan pertumbuhan dan perkembangan serta menghambat pembungaan
tanaman.
a. Absorbsi unsur
hara dan air terganggu karena air akan membekupada suhu dibawah minimum dan
akar tanaman akan membeku yang menyebabkan fikositas menjadi naik.
Penyerapan unsur hara juga terganggu karena bakteri-bakteri pengurai akan
mengalami dormansi atau istrihat
b. Respirasi
menurun karena kebutuhan air dan udara dalam tubuh tanaman menjadi rendah
seiring rendahnya aktivitas-aktivitas dalam tubuh tumbuhan.
c. Perkecambahan
benih akan teganggu dimana embrio akan rusak yang disebabkan rusaknya membran
sel dalam biji.
d. Sufokasi (suffocationI) lambatnya
pertumbuhan tanaman karena suhu udara yang rendah pada tanah dan kekurangan
oksigen
e. Dedikasi yaitu
terjadinya kekeringan fisiologis karena absorbso air terhambat karena kurangnya
permeabilitas selaput akar atau karena naiknya visikositas air dalam air bahkan
membeku.
PENGARUH KETINGGIAN TEMPAT (SUHU)
TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN, TERNAK, HAMA, PENYAKIT TUMBUHAN, DAN GULMA
A. TANAMAN
Faktor iklim di dalamnya termasuk suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara
dan angin. Unsur-unsur ini sangat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan
tanaman. Yang dimaksud dengan ketinggian tempat adalah ketinggian dari
permukaan air laut (elevasi). Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara.
Semakin tinggi suatu tempat, misalnya pegunungan, semakin rendah suhu udaranya
atau udaranya semakin dingin. Semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu
udaranya atau udaranya semakin panas. Oleh karena itu ketinggian suatu tempat
berpengaruh terhadap suhu suatu wilayah.
Perbedaan regional dalam topografi, geografi dan cuaca menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam tanaman, pola tanam, metode bercocok tanam dan situasi
sosio-ekonomi. Pola tanam dari beberapa tanaman yang ditanam terus menerus
serta keadaan iklim yang cocok akan meningkatkan dan kompleksnya serangan hama,
penyakit dan gulma.
Tinggi tempat dari permukaan laut menentukan suhu udara dan intensitas sinar
yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi suatu tempat, semakin rendah suhu
tempat tersebut. Demikian juga intensitas matahari semakin berkurang. Suhu dan
penyinaran inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggolongkan tanaman apa
yang sesuai untuk dataran tinggi atau dataran rendah. Ketinggian tempat dari
permukaan laut juga sangat menentukan pembungaan tanaman. Tanaman berbuahan
yang ditanam di dataran rendah berbunga lebih awal dibandingkan dengan yang
ditanam pada dataran tinggi
Faktor lingkungan akan mempengaruhi proses-proses phisiologi dalam tanaman.
Semua proses phisiologi akan dipengaruhi boleh suhu dan beberapa proses akan
tergantung dari cahaya. Suhu optimum diperlukan tanaman agar dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh tanaman. Suhu yang terlalu tinggi akan menghambat
pertumbuhan tanaman bahkan akan dapat mengakibatkan kematian bagi tanaman,
demikian pula sebaliknya suhu yang terlalu rendah. Sedangkan cahaya merupakan
sumber tenaga bagi tanaman.
Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, induksi bunga, pertumbuhan dan
differensiasi perbungaan (inflorescence), mekar bunga, munculnya serbuk sari,
pembentukan benih dan pemasakan benih. Tanaman tropis tidak memerlukan
keperluan vernalisasi sebelum rangsangan fotoperiode terhadap pembungaan
menjadi efektif. Tetapi, pengaruh suhu terhaadap induksi bunga cukup kompleks
dan bervariasi tergantung pada tanggap tanaman terhadap fotoperiode yang
berbeda. Suhu malam yang tinggi mencegah atau memperlambat pembungaan dalam
beberapa tanaman.
Di daerah beriklim sedang perbedaan suhu lebih ditentukan oleh derajat lintang
(latitude), Di tropika perbedaan ini lebih ditentukan oleh tinggi tempat
(altitude). Ditinjau dari sudut pertumbuhan tanaman, Junghuhn (1853) dalam
membagi daerah pertanaman di pulau Jawa menjadi 4 zone.
1. Zone I 0 – 600 m dari permukaan laut
2. Zone II 600 – 1.350 m
3. Zone III 350 – 2.250 m, dan
4. Zone IV 2.250 – 3.000 m.
Sedangkan Wellman (1972) membuat pembagian yang dihubungkan dengan ekologi
patogen tanaman dan ternyata cocok untuk tropika Asia yaitu zone I 0-300 meter
diatas permuakan laut, zone II 300-500 mdpl, zone III 500-1000 mdpl dan zone IV
1.000-2.000 mdpl.
Berdasarkan ketinggian tempatnya terdapat macam-macam hutan:
• hutan pantai (beach forest)
• hutan dataran rendah (lowland forest)
• hutan pegunungan bawah (sub-montane forest)
• hutan pegunungan atas (montane forest)
• hutan kabut (cloud forest)
• hutan elfin (alpine forest)
Perubahan suhu tentunya mengakibatkan perbedaan jenis tumbuhan pada
wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan ketinggian tempatnya. Maka berdasarkan
iklim dan ketinggian tempat, flora di Indonesia terdiri atas:
Hutan hujan tropis
Indonesia berada di daerah katulistiwa, banyak mendapat sinar matahari, curah
hujannya tinggi, dan suhu udaranya tinggi, menyebabkan banyak terdapat hutan
hujan tropik. Ciri-ciri hutan ini adalah sangat lebat, selalu hijau sepanjang
tahun, tidak mengalami musim gugur, dan jenisnya sangat heterogen. Hutan jenis
ini banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Irian Jaya.
Beberapa jenis floranya misalnya kayu meranti, ulin, dan kapur. Pada pohon-pohon
ini hidup menumpang berbagai tumbuhan seperti anggrek dan tumbuhan merambat.dan
epifit. Tumbuhan merambat yang terkenal adalah rotan.
Pembagian hutan hujan tropis adalah sebagai berikut.
1. Hutan Hujan Tanah Kering (ketinggian 1000 - 3000 m dari muka laut)
- Hutan nondipterocarpeceal memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu
antara 26°C-21°C.
- Hutan dipterocarpaccoo memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu antara
26°C-21°C.
- Hutan agathis campuran memiliki ketinggian < 2.500 m dan suhu antara
26°C-13°C.
- Hutan pantai memiliki ketinggian < 5 m dan suhu ± 26°C.
- Hutan belukar memiliki ketinggian < 1.000-2.000 m dan suhu antara
26°C-21°C.
- Hutan fegacceal memiliki ketinggian antara 1.000-2.000 m dan suhu
antara 21°C-28°C.
- Hutan casuarina memiliki ketinggian antara 1.000-2.000 m dan suhu
antara 21°C-11°C.
- Hutan penuh memiliki ketinggian antara 700-1.000 m dan suhu antara
23°C-18°C.
- Hutan nothofogus memiliki ketinggian 1.000-3.000 m dan suhu antara
21°C-11°C.
2. Hujan Tanah Rawa (ketinggian 5 - 100 m dari muka laut).
- Rawa air tawar
- Hutan rawa gambut
- Hutan payau (hutan mangrove)
Hutan musim
Hutan ini terdapat di daerah yang suhu udaranya tinggi (terletak pada
ketinggian antara 800 - 1200 m dari muka laut). Pohon-pohonnya jarang sehingga
sinar matahari sampai ke tanah, tahan kekeringan, dan tingginya sekitar 12 - 35
m. Daunnya selalu gugur pada musim kering/kemarau dan menghijau pada musim
hujan. Contohnya pohon jati, kapuk, dan angsana.
Hutan musim dapat digolongkan menjadi sebagai berikut.
1. Hutan musim gugur daun
2. Hutan musim selalu hujan
Hutan sabana
Sabana adalah padang rumput yang disana sini ditumbuhi pepohonan yang
berserakan atau bergerombol. Terdapat di daerah yang mempunyai musim kering
lebih panjang dari musim penghujan, seperti di Nusa Tenggara. Hutan sabana
dapat digolongkan menjadi berikut ini.
1. Hutan sabana pohon dan palma memiliki ketinggian < 900 m dan suhu 22°C.
2. Hutan sabana casuarina memiliki ketinggian antara 1.600 - 2.400 m dan suhu
antara 18°C-13°C.
Padang rumput
Terdapat pada daerah yang mempunyai musim kering panjang dan musim penghujan
pendek, seperti di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Padang rumput dapat
terdapat di daerah dengan ketinggian antara 900 - 4000 m di atas permukaan
laut, seperti misalnya padang rumput tanah, padang rumput pegunungan, komunitas
rumput, dan lumut.
Padang rumput dapat digolongkan menjadi berikut ini.
1. Padang rumput iklim basah
- Padang rumput tanah rendah memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu
26°C-21°C.
- Rawa rumput memiliki ketinggian > 1000 m dan suhu ± 26°C.
- Padang rumput pegunungan memiliki ketinggian antara 1.500 – 2.400 m dan suhu
antara 18°C-23°C.
- Padang rumput berawa gunung memiliki ketinggian antara 2.400 – 4000 m dan
suhu antara 10°C-18°C.
- Padang rumput Alpin memiliki ketinggian antara 4.000 – 4.500 m (batas salju)
dan suhu > 6°C.
- Komunitas rumput dan lumut memiliki ketinggian > 4.500 m dan suhu <
6°C.
2. Padang rumput iklim kering dengan suhu 22°C.
B. TERNAK
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi ternak meliputi lingkungan fisik
(radiasi, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, curah hujan, den ketinggian
tempat), lingkungan biotic (vegetasi, predator, hewan/ternak lain, bakteri,
parasit, dan virus), lingkungan kimiawi (pencemaran dan peracunan oleh unsure-unsur),
dan lingkungan manusia sebagai pengelola.
Semakin tinggi letak suatu daerah dari atas permukaan laut maka akan semakin
rendah suhu udara rata-rata hariannya. Kroteria dataran rendah ditandai dengan
suhu udara yang tinggi dan tekanan udara maupun oksigen yang tinggi pula.
Diantara faktor iklim, suhu dan kelembaban udara merupakan faktor terpenting
yang mengatur iklim serta adaptasi dan distribusi dari ternak dan vegetasi.
Sebagi contoh, kehidupan ternak sapi diperlukan suhu optimal diantara 13 sampai
180C dan bila suhu naik diantara 1 – 100C dari suhu optimalnya, ternak akan
mengalami depresi. Suhu udara dan kelembaban tinggi akan menimbulkan stress
akibat kenaikan suhu tubuhnya. Untuk menurunkan suhu tubuhnya yang naik, maka
diperlukan energi tambahan guna mencapai keseimbangan tubuhnya, efisiensi
energi pakan (makanan) menjadi lebih kecil.
Kebutuhan zat makanan pada ternak dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, pada
suhu dan kelembaban tinggi,dapat menyebabkan menurunnya konsumsi pakan dan akan
disertai dengan menurunnya daya cerna diikuti kehilangan berat badan dan
menurunnya resistensi terhadap penyakit.
Dengan adanya suhu lingkungan yang tinggi maupun yang lebih rendah dari suhu
tubuhnya, maka ternak akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya yang konstan.
Oleh karena itu, hewan akan memproduksi panas dalam tubuhnya dan
mengeluarkannya ke sekitar lingkungannya secara terus menerus dan tetap,
sehingga kanaikan atau penurunan suhu 10C dari suhu tubuhnya sudah cukup
menimbulkan pengaruh proses fisiologinya . terganggunya keseimbangan panas
dapat menurunkan produktifitasnya.
C. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor
faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara
relatif dan foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup,
keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga. Sebagai contoh hama
kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum 32,5º C untuk pertumbuhan
populasinya.
Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan
fisiologi tanaman inang, yang akhirnya mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap
hama. Temperatur berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder
seperti alkaloid, falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap
hama. Pengaruh tidak langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami hama baik
predator, parasitoid dan patogen.
Dari konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor
lingkungan fisik sangat berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit.
Pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa terhadap siklus hidup patogen,
virulensi (daya infeksi), penularan, dan reproduksi patogen. Pengaruh perubahan
iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit.
Perubahan iklim berpengaruh terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat
genom, seluler, proses fisiologi tanaman dan patogen. Setiap tahap dari siklus
hidup patogen, dipengaruhi oleh suhu, dari tunas spora, hingga memasuki masa
pertumbuhan induknya menjadi hingga sporulasi baru dan perpindahan spora.
Terdapat temperatur minimum, maksimum, dan optimum yang berbeda untuk tiap
patogen yang berbeda dan bahkan untuk proses pada beberapa patogennya.
Verticillium dahliae paling aktif menyebabkan kelayuan pada suhu antara
25-280C, tetapi Verticillium albo-atrum akan mendominasi pada suhu 20-250C.
Karat dini pada tomat dipicu oleh suhu yang hangat dan sebaliknya.
Bakteri penyebab penyakit kresek pada padi Xanthomonas oryzae pv. oryzae
mempunyai suhu optimum pada 30º C. Sementara F. oxysporum pada bawang merah
mempunyai suhu pertumbuhan optimum 28-30 º C. Bakteri kresek penularan utamanya
adalah melalui percikan air sehingga hujan yang disertai angin akan memperberat
serangan. Pada temperatur yang lebih hangat periode inkubasi penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum ) lebih cepat di banding suhu rendah.
Sebaliknya penyakit hawar daun pada kentang yang disebabkan oleh cendawan
Phytophthora infestans lebih berat bila cuaca sejuk (18-22 º C) dan lembab.
Faktor-faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan tanaman inang. Tanaman
vanili yang stres karena terlalu banyak cahaya akan rentan terhadap penyakit
busuk batang yang disebabkan oleh Fusarium. Ekspresi gejala beberapa penyakit
karena virus tergantung dari suhu.
D. GULMA
Gulma yang terdapat pada dataran tinggi relatif berbeda dengan yang tumbuh di
daerah dataran rendah. Pada daerah yang tinggi terlihat adanya kecenderungan
bertambahnya keanekaragaman jenis, sedangkan jumlah individu biasanya tidak
begitu besar. Hal yang sebaliknya terjadi pada daerah rendah yakni jumlah
individu sangat melimpah, tetapi jumlah jenis yang ada tidak begitu banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Hutan. http://id.wikipedia.org/hutan. Diakses pada 26 maret 2009.
Boudreau, Mark. 2008. Organic Plant Disease Management: the Environment.
http://www.extension.org/main/partners. Diakses pada 23 maret 2009.
D.F. Warnock , W.M. Randle dan O.M. Lindstrom, Jr. 1993. Photoperiod,
Temperature, and Plant Age Interact to Affect Short-day Onion Cold Hardiness.
hortscience, Georgia. (http://www.google.co.id. Diakses pada 23 maret 2009.)
Kadarsih, Siwitri. 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat di
Daerah Transmigrasi Bengkulu: I. Performans Pertumbuhan. Jurnal ilmu-ilmu
pertanian Indonesia vol. 6, No. 1. (http://www.google.co.id. Diakses pada 23
maret 2009.)
Muawin, Heru A. 2009. Hubungan Suhu Bagi Pertumbuhan Tanaman.
http://herumuawin.blogspot.com/2009/03/
hubungan-suhu-bagi-pertumbuhan-tanaman/. Diakses pada 26 maret 2009
Tim MGMP. 2008. Lingkungan Kehidupan di Muka Bumi.
http://mgmpgeok.blogspot.com/2008/10/lingkungan-kehidupan-di-muka-bumi.html.
Diakses pada 23 maret 2009.
Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman.
IPB, Bogor. (http://www.google.co.id. Diakses pada 23 maret 2009.)
Zahara, Hafni dan Lenny Hartati Harahap. Identifikasi Jenis Cendawan Pada
Tanaman Cabai (Capsicum annum) Pada Topografi Yang Berbeda. Balai Besar
Karantina Tumbuhan, Belawan. (http://www.google.co.id. Diakses pada 23 maret
2009.)
PENGARUH SUHU
PERENDAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIJI TANAMAN
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Peserta didik dapat :
1. Mengetahui pengaruh pertumbuhan biji karena suhu perendaman yang
berbeda-beda
2. Memahami proses pertumbuhan kedelai secara periodik
3. Memahami proses perkembangan perkecambahan pada kedelai
4. Memahami struktur biji kedelai saat mengalami perkecambahan
B. LANDASAN TEORI
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan biji
Biasanya, kecambah akan cepat berkembang apabila suhunya sedikit berlembab, hal
ini suhu sangat menentukan factor perkembangan kecambah.
Suhu tentunya sangat berpengaruh untuk pertumbuhan suatu tanaman ,karena untuk
aktivitas enzim dalam proses biokimia dalam sel tumbuhan.Suhu optimum tumbuhan
bervariasi tergantung jenis tumbuhannya.Selain mengatur kerja enzim,suhu juga
ada hubungannya dengan absorbsi garam mineral dalam tanah.
Semakin tinggi suhu perendaman yang digunakan sampai batas tertentu akan
semakin meningkatkan viabilitas benih ,pertumbuhan dan hasilnya.
Peranan peningkatan suhu adalah untuk pematahan dormansi, sedangkan lama
perendaman benih untuk mengoptimalkan imbibisi air dalam benih sehingga bisa
memacu perkecambahan.
C. METODE PENELITIAN
Meliputi beberapa hal yaitu :
1. Waktu
Hari : Sabtu
Tanggal : 23 Juli 2011
Tempat : di rumah salah satu anggota kelompok
2. Alat dan bahan
Alat : a. thermometer
b. aqua gelas ( tiap orang 4 )
c. sendok
d. mangkuk
e. stopwatch
Bahan : a.tanah
b. air ( air bersuhu 0.8ᵒC, 26ᵒC, 48ᵒC, 72ᵒC )
c. Bji kedelai
3. Cara kerja
a. Menyiapkan semua bahan dan peralatan yang dibutuhkan.
b. Memasukkan air yang bersuhu 0.8ᵒC ke dalam mangkuk pertama, air bersuhu 26ᵒC kedalam mangkuk kedua, air
bersuhu 48ᵒC kedalam
mangkuk ketiga, dan air bersuhu 72ᵒC kedalam mangkuk keempat.
c. Memasukkan biji-biji yang telah disiapkan kedalam setiap mangkuk yang telah
berisi air dengan suhu tertentu.
d. Merendam biji-biji tersebut selama 10 menit
e. Sambil menunggu selama 10 menit, kita mengisi botol botol aqua dengan tanah
secukupnya dengan takaran yang sama.
f. Mengambil biji-biji yang telah kita rendam selama 10 menit tdai dan
menanamnya masing masing 5 biji yang telah direndam pada setiap botol aqua yang
telah berisi tanah .
g. Memberikan tanda pada masing masing aqua.
Yaitu :
1. Untuk menunjukan botol yang berisi biji dengan suhu perendaman 0.8ᵒC.
2. Untuk menunjukan botol yang berisi biji dengan suhu perendaman 72ᵒC.
3. Untuk menunjukan
botol yang berisi biji dengan suhu perendaman 26ᵒC.
4. Untuk menunjukan botol yang berisi biji dengan suhu perendaman 48ᵒC.
h. Mencatat pertumbuhan dan perkembangan setiap hari dan mengambil foto untuk
dokumentasi laporan.
PEMBAHASAN
Setelah saya melakukan percobaan, ternyata biji yang direndam dengan suhu 72ᵒC bisa mati dikarenakan biji
kedelai tidak bisa menerima panas yang berlebihan.Jadi biji kedelai untuk
tumbuh yang baik harus di suhu optimal ( suhu yang seharusnya/suhu yang pas)
Pertumbuhan
biji yang direndam pada suhu 0.8ᵒC tumbuh lebih lambat daripada pertumbuhan biji yang direndam pada
suhu yang lebih tinggi karena proses imbibisi berlangsung lebih cepat pada suhu
yang tinggi.Suhu berperan dalam mengontrol perkecambahan dan pertumbuhan vegetative.
Perlakuan suhu perendaman tidak berpengaruh nyata pada berat kedelai,hal ini
diduga disebabkan karena perendaman benih dalam air panas berfungsi untuk
pematahan dormansi benihnya dan membuat kulit benih menjadi lebih permeable
untuk mempercepat pertumbuhan bagian-bagian kecambah benih seperti plumula dan
radikula, yang kemudian berfungsi secara optimal dalam penyerapan air dan unsur
hara tanah serta penyerapan cahaya yang maksimal .